Kuliner adalah bagian dari budaya bangsa yang menjadi identitas penting bagi Indonesia. Alam Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati yang kaya, membuat variasi dan keunikan kuliner negara kita tak perlu diragukan lagi, termasuk yang ada di Tanah Papua. Kekayaan sumber pangan, mulai dari karbohidrat, sayur mayur, buah-buahan, rempah, hingga protein disediakan oleh alam di Tanah Papua menjadi sumber pangan yang mudah dijangkau masyarakat di sekitarnya.
“Kalau kita ingin mencari tahu budaya dari suatu bangsa, kita bisa melihat dari bahan masakan dan kuliner yang ada di sana. Bicara soal Papua, kuliner di Tanah Papua itu sangat alami dan sederhana. It’s all about simplicity, yang mengandalkan cita rasa asli dari bahan yang berkualitas. Apa yang ada di alam, itu yang diolah, dan keep it simple,” kata Chef Astrid saat Temu Netizen pada 23 Mei 2023.
Baca juga: Memenuhi Gizi dari Kebun Sendiri
Torang Pu Alam yang Penuh Rasa yang menjadi tema Temu Netizen sejalan dengan pentingnya menjaga keberadaan keanekaragaman hayati sebagai sumber pangan khususnya di Tanah Papua. Diskusi hangat para pengikut akun media sosial Yayasan EcoNusa, komunitas pemuda EcoDefender dan Penjaga Laut berjalan dalam Temu Netizen yang juga dihelat dengan semangat memeriahkan Hari Keanekaragaman Hayati Internasional, pada tanggal 22 Mei setiap tahunnya.
Chef Astrid juga bercerita, dengan kesederhanaannya, kuliner di Tanah Papua pun tak kalah beragam dengan daerah lainnya di Indonesia. Bila kita sering mengidentikkan kuliner Papua dengan papeda yang berbahan dasar sagu, di tanah ini sagu tak hanya diolah menjadi papeda. Terdapat berbagai macam kuliner berbahan dasar sagu, seperti papeda bungkus, sagu bakar, sagu apatar, hingga sinole.
Senada dengan yang dikatakan oleh Chef Astrid, Yuliance Zonggonou, relawan EcoDefender yang lebih akrab disapa Yuli. Yuli bercerita bahwa tidak semua orang Papua mengonsumsi papeda. Ini karena sagu tumbuh tidak di semua daratan Papua. Masyarakat Papua yang makan sagu mayoritas yang tinggal di dataran rendah dan dekat dengan garis pantai, karena di wilayah itu lah sagu tumbuh subur. Sedang, masyarakat yang hidup di wilayah pegunungan cenderung mengandalkan umbi-umbian seperti kasbi (singkong), petatas (ubi jalar), dan keladi sebagai sumber karbohidrat mereka.
“Tong di Papua juga punya kopi yang berkualitas tinggi, salah satunya berasal dari Paniai. Kopi ini ditanam langsung oleh masyarakat sehingga dong itu bisa dapat penghasilan dari sana,” cerita Yuli kepada para peserta Temu Netizen. Yuli menjelaskan bahwa budidaya tanaman kopi di Tanah Papua, khususnya di Paniai telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Namun masyarakat sempat berhenti membudidaya kopi karena mereka bingung kemana harus menjual hasil panennya. Hal ini membuat masyarakat mulai mengganti kebun kopi yang mereka miliki menjadi kebun tanaman pangan lain seperti petatas, kasbi, cabai, dan lainnya.
Baca juga: Bukan dari Laut, Garam Asli Papua Berasal dari Hutan
Seiring dengan kian meningkatnya minat publik terhadap kopi, Yuli melihat adanya potensi kopi Paniai yang dapat membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat di sana. Oleh karena itu, Yuli dengan dukungan berbagai pihak mendorong agar kopi Paniai mulai dibudidaya lagi dengan ditanamnya satu juta pohon kopi. Hal ini pun terlaksana dan mendatangkan keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal di sana.
Ade Putri Paramadita, seorang culinary storyteller yang telah lama berkecimpung di bidang kuliner nusantara mengatakan bahwa semua masakan memiliki cerita latar belakang menarik yang erat dan sangat melekat oleh budaya suatu komunitas. Menurut Ade Putri, kita semua dapat berkontribusi menjadi penyampai cerita guna melestarikan kuliner Indonesia, salah satunya yang berasal dari Tanah Papua dengan cara dan kapasitas yang kita punya. Seperti contohnya Chef Astrid menyampaikan ceritanya melalui masakan yang disajikan, dan Yuli menyampaikan ceritanya melalui upaya dan aksi nyata yang dilakukan.
Baca juga: Catatan Perjalanan: Egek, Budaya Konservasi Tradisional Suku Moi
Dalam kesempatan ini, Ade Putri juga bercerita tentang bagaimana budaya asli yang kita punya sebenarnya berakar pada alam. Dia menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke sebuah desa di Bali yang masih menjaga budaya aslinya, di mana dalam sebuah upacara adat, tetua adat di sana tidak memperbolehkan adanya wadah plastik sekali pakai dan lebih memilih menggunakan wadah dari daun kelapa atau daun pinang. Ini menunjukkan bahwa merawat dan menjaga budaya asli Indonesia yang kita punya, juga merupakan bagian dari upaya memelihara dan menjaga alam.
“Indonesia dengan kekayaan alam yang kita punya, telah memenuhi segala kebutuhan hidup kita, dan ini harus kita jaga. Bila ada hal yang baru, bukannya mau menghalau sesuatu yang baru ini, tapi jangan sampai hal baru ini menghilangkan tradisi dan budaya yang ada,” kata Ade Putri.
Alam beserta seluruh isinya ibarat supermarket megah yang menyediakan segala kebutuhan kita, termasuk pangan. Penting bagi kita sebagai manusia untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam dengan bijak dan tidak merusak. “Penting bagi kita mengedukasi publik, termasuk juru masak tentang pentingnya menjaga sumber daya alam yang ada. Tujuannya agar makanan ini bisa dinikmati bukan cuma untuk hari ini, tapi juga bisa dinikmati generasi berikutnya di masa depan,” ungkap Ade.
Antusiasme terhadap rasa dari Tanah Papua juga disampaikan oleh peserta Temu Netizen. Tasya, salah satu kawan daring EcoNusa yang hadir dalam Temu Netizen mengungkapkan antusiasmenya terhadap acara ini. Baginya yang terbiasa dengan makanan bercita rasa khas sunda, kuliner asal Tanah Papua menjadi hal baru yang unik dan amat berkesan baginya.
Pada lain kesempatan, Stevania Berlinda juga turut memberikan respons positifnya. Menurutnya, acara ini menyadarkan publik, khususnya orang muda bahwa hidup kita sangat bergantung pada alam, salah satunya dari sisi pangan dan budaya kuliner. “Jika kita tidak merawatnya atau bersikap tidak peduli, maka kekayaan alam di Indonesia akan semakin menurun baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya yang berdampak buruk bagi ketahanan pangan kita,” kata Stevania.
Editor: Swinny Adestika