Papua dikenal sebagai salah satu daerah yang kaya akan budaya dan tradisi. Ada sekitar 255 suku di Tanah Papua dengan perbedaan budaya dan bahasa. Salah satu suku yang ada adalah Suku Miere yang mendiami kawasan Teluk Etna di Kaimana, Papua Barat.
Medio Desember 2022, saya berkunjung ke Kaimana untuk mendokumentasikan musyawarah adat Suku Miere. Suku Miere disahkan 15 tahun lalu melalui musyawarah adat di Kabupaten Kaimana.
Dosen Antroplogi Universitas Papua, Adolof Ronsumbre, dalam buku Ensiklopedi Suku Bangsa di Papua Barat menyebutkan bahwa Suku Miere merupakan integrasi dari beberapa klan atau marga, yakni Abujani, Karafey, Maramoy, Raifora, Raurukara. Di kabupaten tersebut, Suku Miere tersebar di daerah bagian tengah kepala burung pulau Papua, yaitu di sekitar mata air Wosimi dan hulu sungai Urema di Distrik Teluk Etna.
Baca Juga: Noken: Kearifan Lokal Bernilai Luar Biasa
Suku Miere mengenal sistem kepemimpinan tradisional. Salah satunya terdapat kepala suku yang memiliki kedudukan tertinggi dan memegang kekuasaan penuh atas segala urusan yang menyangkut pemerintahan kampung.
Saya berangkat bersama staf EcoNusa Kaimana, fasilitator, dan panitia kegiatan sidang adat pada 16 Desember 2022. Kami berangkat pukul 05.00 WIT dari Kaimana menggunakan longboat (perahu panjang) menuju Teluk Etna. Kami tiba di sana sekitar pukul 11.30 WIT.
Musyawarah adat dibuka oleh Wakil Bupati Kaimana, Hasbulla Furuada, pada 17 Desember 2022. Masyarakat sangat senang dengan kehadiran Bapak Wakil Bupati. Kemudian kegiatan dilanjutkan dengan sosialisasi pemetaan wilayah adat dan diskusi dengan masyarakat adat tentang batas wilayah, lalu pemilihan kepala kampung.
Baca Juga: Menginang: Merawat Budaya, Mendorong Tanah Papua Berdaya
Pemilihan kepala suku dilakukan dengan sistem voting. Tidak ada calon kandidat dalam voting tersebut, Bapak Donatus yang merupakan anak adat dari Suku Miere langsung menanyakan satu persatu ke tetua adat dan perwakilan suku dan menemukan satu nama yang terpilih dengan suara terbanyak. Terpilihlah Sutran Awjani sebagai kepala suku.
Besoknya, 18 Desember 2022 kegiatan dilanjutkan dengan proses identifikasi suku, pembuatan sketsa peta marga, dan melakukan pembuatan peta lewat citra.
Hal menarik dari Suku Miere adalah peran penting perempuan. Di Suku Miere, setiap keputusan penting pasti melibatkan perempuan Itulah sebabnya setiap hal yang harus diputuskan dalam musyawarah adat melalui proses mendengarkan aspirasi perempuan, sekalipun tetap laki-laki yang mengambil keputusan.
Dalam hal batas wilayah suku, perempuan bisa menunjukkan tata batasnya apabila laki-laki tidak punya pengetahuan tentang itu. Perempuan biasanya justru lebih paham tentang wilayah mereka karena lebih banyak ke hutan, sehingga mereka lebih hapal apa yang ada di kawasan mereka. Ini menjadi pembelajaran untuk saya untuk belajar mendukung perempuan adat agar bisa berkembang seperti laki-laki, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Suku Miere.
Baca Juga: Cerita Suku Moni dan Suku Mee, Dulunya Berperang, Sekarang Hidup Berdampingan
Saya juga belajar tentang pentingnya musyawarah adat untuk melindungi batas wilayah marga dari pihak luar. Pada 1990-an, wilayah Suku Miere telah dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan besar, sehingga hutannya semakin habis, sementara kehidupan masyarakat asli tidak berkembang.
Sebetulnya ada standar operasional prosedur bagi perusahaan untuk memberdayakan masyarakat lokal. Tapi ternyata itu hanya sebatas dokumen, tidak diaplikasikan oleh perusahaan. Ini juga menjadi sumber konflik bagi masyarakat. Belajar dari hal tersebut, musyawarah adat punya arti penting untuk membicarakan perlindungan, pemanfaatan, dan potensi wilayah. Tradisi musyawarah adat ini harus dipertahankan.
Editor: Nur Alfiyah