Koalisi Masyarakat Untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) mendesak Menteri Kelautan Perikanan Edhy Prabowo untuk kembali melarang penggunaan cantrang. KORAL menilai kebijakan pemerintah yang memperbolehkan kembali penggunaan cantrang tersebut merugikan nelayan kecil. Hal tersebut disampaikan dalam siaran pers KORAL.
Selain merugikan nelayan kecil, cantrang merusak ekosistem laut. Cara kerja cantrang juga dapat menyapu bersih semua ikan yang dilalui sehingga tangkapan nelayan tradisional menjadi berkurang drastis.
“Kegelisahan para nelayan di berbagai daerah saat ekonomi tengah terpuruk tampaknya tidak didengar dan bukan menjadi prioritas pemerintah kecuali investasi. Kesejahteraan nelayan yang pemerintah janjikan tampaknya hanya untuk perusahaan besar saja,” kata Safran Yusri, perwakilan dari KORAL.
Kehadiran kapal-kapal cantrang pun telah menimbulkan berbagai permasalahan di banyak lokasi, terutama yang beroperasi di pesisir. Pengoperasian kapal cantrang sendiri bertentangan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. KORAL menilai diizinkannya kembali kapal cantrang beroperasi jelas merupakan perlakuan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut.
Penangkapan ikan oleh kapal cantrang di wilayah pesisir Anambas misalnya, telah menyebabkan nelayan-nelayan lokal yang sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing ulur mengalami kerugian yang signifikan. Alat tangkap pancing ulur merupakan alat tangkap ramah lingkungan dengan sasaran utama ikan-ikan demersal.
“Saat nelayan lokal beroperasi menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, pemerintah malah memberi izin pada industri besar untuk merusak laut dengan cara eksploitasi demi investasi semata,” tutur Suhana, peneliti kelautan dan perikanan KORAL.
Selain ikan tangkapan yang tersapu bersih, jaring raksasa cantrang juga turut merusak terumbu karang yang merupakan habitat ikan-ikan. Hal tersebut kemudian menyebabkan nelayan tradisional mengalami kesulitan untuk melakukan penangkapan ikan. Akibatnya, nelayan-nelayan Anambas harus melaut lebih jauh lagi untuk mencari ikan. Itu pun dengan hasil tangkapan yang jauh lebih sedikit. Jika terus dibiarkan tanpa solusi, hal tersebut akan menyebabkan kerugian yang makin besar bagi nelayan tradisional di Anambas. Tak menutup kemungkinan persoalan ini dapat memicu konflik antara nelayan pancing ulur di Anambas dengan nelayan cantrang yang beroperasi di Natuna.
Baca juga: IUUF Ancam Masa Depan Laut Indonesia
Dedi Syahputra, Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Kepulauan Anambas, meminta agar pemerintah daerah memperjuangkan aspirasi nelayan Anambas terkait pengoperasian cantrang karena kerugian yang diderita nelayan tradisional semakin nyata. Pengiriman kapal-kapal cantrang ke Laut Natuna merupakan bagian dari program Rencana Aksi Nasional Optimalisasi dan Akselerasi Industri Perikanan SKPT di Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan Natuna yang disepakati di Palembang pada 29 Januari 2020 lalu. Dedi menjelaskan bahwa kesepakatan ini tetap dilakukan meskipun HNSI dan Aliansi Nelayan Anambas menolak untuk menandatangani kesepakatan tersebut pada rapat yang digelar.
Hasil pertemuan di Palembang ditindaklanjuti dengan Nota Kesepahaman Sinergi Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Pada Nota Kesepahaman itu, disepakati bahwa para pihak wajib melaksanakan evaluasi pelaksanaan Nota Kesepahaman setiap 3 bulan sekali. Namun demikian, Dedi mengatakan, tidak ada evaluasi yang dilakukan dengan melibatkan nelayan-nelayan di Anambas hingga saat ini terkait pengiriman nelayan cantrang ke Natuna tersebut.
Justru pada kenyataannya, jumlah kapal cantrang yang beroperasi di Natuna hingga saat ini malah semakin semakin bertambah. Di Kecamatan Siantan Timur sendiri, nelayan Anambas mengidentifikasi terdapat 27 kapal cantrang dengan ukuran di atas 60 GT. Sementara itu, masih banyak kapal cantrang yang terlihat di kecamatan lainnya.
“Saat ini lebih dari 700 nelayan Kabupaten Anambas-Natuna merasa dirugikan oleh pengoperasian cantrang. Kami tidak tahu harus mengadu ke mana lagi selain ke pemerintah daerah,” tutur Dedi.
Dedi juga mengungkapkan kekhawatirannya apabila situasi ini tidak segera diatasi, nasibnya bersama ratusan nelayan tradisional di Anambas-Natuna akan semakin terpuruk.
“Ikan tangkapan nelayan tradisional habis. Kami dihadapkan pada situasi sulit dan tidak mungkin berkompetisi dengan kapal-kapal cantrang,” ungkap Dedi.
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) terdiri dari:
IOJI (Indonesia Ocean Justice Initiative), Pandu Laut Nusantara, EcoNusa, KIARA, WALHI, Greenpeace Indonesia, ICEL (Indonesian Center of for Environmental Law), Destructive Fishing Watch (DFW), Yayasan Terangi, dan Yayasan EcoNusa.
KORAL mendukung tuntutan dari HNSI Kabupaten Natuna-Anambas yang antara lain:
- Menolak rencana pemerintah melegalkan alat penangkapan ikan cantrang (trawl).
- Hentikan segera alat penangkapan ikan cantrang (trawl) beroperasi di perairan Kabupaten Kepulauan Anambas-Natuna sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
- Mendesak Pemerintah Kabupaten Kepulauan Anambas dan Provinsi Kepulauan Riau menyampaikan penolakan alat penangkapan ikan cantrang (trawl) di Perairan Kabupaten Kepulauan Anambas-Natuna kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
- Tertibkan pelanggaran zona tangkap kapal pukat mayang di perairan Kabupaten Kepulauan Anambas-Natuna.
- Mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Anambas serius dan sungguh-sungguh menyelesaikan persoalan nelayan.
Peninjau: Wiro Wirandi, Manajer Ocean Program Yayasan EcoNusa
Editor: Leo Wahyudi