Tahukah kawan-kawan muda sekalian? Sekarang kita sudah memasuki tahun politik 2024 dan potensi pemilih milenial dan generasi Z untuk Pemilu 2024 meningkat menjadi 60 persen dari total suara pemilih. Potensi tersebut mengindikasikan bahwa suara kaum milenial dan generasi z memiliki daya tawar yang besar untuk perubahan di Indonesia yang lebih baik.
“Suara dari pemilih milenial dan generasi z adalah ceruk yang harus didulang isinya, partai politik dan tokoh-tokoh di dalamnya berusaha semaksimal mungkin menggaet suara milenial dan generasi Z demi dapat memimpin di Pemilu 2024,” kata Sumardi Ariansyah, Youth Engagement and Mobilization EcoNusa.
Anak muda yang mengisi 60 persen potensi suara dalam Pemilu dapat menjadi kunci untuk lingkungan dan demokrasi yang lebih baik. Belajar dari pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2019 yang begitu panas, politik berdasarkan identitas, budaya, atau latar belakang tertentu begitu kuatnya menguasai panggung kampanye, sehingga substansi yang digagas dalam program kerja justru sangat kecil untuk diperbincangkan.
Baca Juga: Aku Berdigital, Maka Aku Ada
“Ini merupakan kemunduran dalam sebuah demokrasi di mana jika kita terus berada dalam kubangan politik identitas yang mengedepankan isu SARA dibanding substansi program kerja para calon pemimpin daerah atau nasional dan partai politik,” ujar Aree, sapaan Sumardi.
Lantas, apa kaitannya lingkungan hidup dengan politik dan demokrasi? Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB pada 2019 bencana terjadi sebanyak 9.375 kali di Indonesia. Kebakaran hutan merupakan salah satu dari bencana yang sering terjadi yakni mencapai 3.276 kali sepanjang 2019, dengan kerugian Rp75 triliun.
“Kerugian ini datang dari salah satu saja, bagaimana total kerugian dari seluruh bencana yang terjadi di periode 2019? Tentu saja, sangat besar pil pahit kerugian yang ditelan oleh Indonesia,” kata Aree.
Baca Juga: Kampanye Lingkungan Kaum Muda di Dunia Digital
Menurut Aree, bencana alam yang terjadi erat kaitannya dengan kebijakan publik yang dibuat. Pembuat kebijakan ada di ranah legislatif yang anggotanya dipilih dari Pemilu. Demikian pula anggota eksekutif sebagai eksekutor kebijakan juga dipilih dari hasil Pemilu dan kita semua merupakan pemilih pada Pemilu tersebut. Realitas keterlibatan anak muda dalam politik banyak yang berpendapat masih minim, terutama mengambil pilihan untuk tidak memilih atau golput. Persentase golput di Indonesia seperti pada Pemilu 2019 masih cukup tinggi di kisaran 22,5 persen.
“Kita semua memimpikan Indonesia yang bebas korupsi, lapangan pekerjaan yang terbuka lebar, lingkungan hidup yang sehat, akses kesehatan yang terjangkau, dan harga sembako murah. Semua itu berangkat dari titik Pemilu untuk perubahan ke depannya, terutama dari kalangan milenial dan generasi Z yang memiliki hak suara cukup besar harus terlibat secara aktif dalam Pemilu 2024,” ujar Aree.
Saat ini, kata Aree, kondisi bumi memburuk karena krisis iklim. Mencegah untuk tidak semakin buruk salah satunya dengan ikut terlibat aktif dalam politik dan menentukan calon pemimpin daerah atau nasional yang pro-lingkungan. Meminimalisir kampanye yang berdasar pada SARA, memaksimalkan kampanye gagasan program kerja dari partai politik atau calon pemimpin, dan memprioritaskan poin-poin perlindungan lingkungan hidup untuk mencegah krisis iklim lebih buruk.
Baca Juga: Nasib Demokrasi dan Lingkungan di Tangan Pemuda
“Apatis terhadap politik adalah pilihan, namun hal itu berarti kita memilih untuk kalah dan terpimpin oleh para eksploitator. Mari wujudkan #MimpiBaru kita kawan di 2024,” katanya.
Editor: Nur Alfiyah