Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Hutan Sagu yang Terancam oleh Sawit

Bagikan Tulisan
Salah satu areal hutan sagu di Papua. Sagu menjadi sumber pangan dan bagian dari kearifan lokal masyarakat Tanah Papua. (Yayasan EcoNusa)

Bagi masyarakat Suku Moi Kelim, hutan adalah mama yang memberikan penghidupan. Suku yang mendiami sebagian wilayah Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat tersebut melestarikan dan memanfaatkan hutan secara turun-temurun. Dari dalam hutan, mereka mendapatkan bahan pangan, seperti sagu, buah-buahan, dan hewan buruan sebagai sumber protein.      

Ita Mili adalah salah satu warga dari Suku Moi Kelim. Marga Mili meninggali Kampung Walal di Distrik Salawati, Kabupaten Sorong. Selain untuk konsumsi sehari-hari, Mama Ita juga memanfaatkan sagu sebagai satu-satunya sumber pendapatan ekonomi keluarga. “Sa (saya) dan keluarga bisa bangun rumah dan semua yang kami beli dari hasil jual sagu. Ini sudah yang kami punya,” kata Mama Ita, sambil memeras sagu di dusun produksi sagu di kampung mereka, 20 Januari 2022. 

Baca Juga: Igya Ser Hanjop, Pengelolaan Ruang Ekologi Suku Arfak

Dusun rumah produksi sagu Magra Mili itu merupakan hutan sagu. Lokasinya tak jauh dari rumah Mama Ita. Bersama suaminya, Andris, Mama Ita harus berjalan kaki sekitar 600 meter, meniti jalan papan setapak yang berada di atas rawa setinggi 15 centimeter. Jalan papan itu dibuat secara swadaya oleh Mama Ita dan Andris.

Membutuhkan waktu tiga hari untuk mengolah satu pohon sagu yang menghasilkan 15-17 karung atau tumang. Dalam satu karung, biasanya beratnya sekitar 15 kilogram. Untuk konsumsi sehari-hari satu keluarga, mereka hanya membutuhkan 1-2 tumang per bulan. Sisanya sagunya mereka jual dalam bentuk sagu basah ke penjual di pasar Kota atau Kabupaten Sorong.  

Biasanya dalam waktu 2 minggu, Mama Ita dapat memproduksi 30-40 karung untuk dijual, dengan harga Rp.125.000/tumang. “Karena tong (kami) cuma berdua, sa dengan sa pu (punya) suami saja yang kerja,” ujar Mama. 

Baca Juga: CEO Yayasan EcoNusa: Pencabutan Izin Perusahaan Harus Diikuti Pengembalian Hak Masyarakat Adat

Selain masyarakat adat marga Mili, sagu juga menjadi panganan utama masyarakat marga Malakabu, marga Fes, dan marga Libra yang mendiami Salawati Daratan di Kabupaten Sorong. Namun, satu-satunya sumber penghidupan masyarakat tersebut terancam oleh pengalihfungsian lahan. Hutan-hutan mereka akan dibuka, diganti oleh tanaman kelapa sawit milik PT Inti Kebun Lestari. Perusahaan tersebut mendapat izin konsesi seluas 28.256 hektare. Dari luas tersebut, sekitar 1.700 hektare merupakan hutan sagu milik empat marga di Salawati Daratan tersebut. 

Untunglah, Bupati Sorong Johny Kamuru mencabut izin lokasi dan izin usaha perkebunan perusahaan tersebut pada April 2021. Bupati berkomitmen mengembalikan pengelolaan sumber daya alam tersebut kepada masyarakat adat. Sayangnya, PT Inti Kebun kemudian menggugat keputusan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura, Papua. PTUN Jayapura menolak gugatan tersebut pada 16 Januari 2022. Tak terima dengan keputusan ini, PT Inti Kebun mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar.    

Baca Juga: Izin Sawit Bermasalah, Warga Merasa Kena Tipu

Setelah pencabutan izin konsesi perusahaan oleh Bupati Sorong, warga dari empat marga  meminta pendampingan dari EcoNusa untuk memetakan wilayah adat mereka. Pemetaan partisipatif tersebut akan menjadi bentuk perlindungan wilayah adat dari Investor di kemudian hari. “Kami marga-marga, Malakabu, Mili, Fes, Libra ingin melindungi tanah adat kami, dan bisa mengelola sagu yang kami punya,” kata Ruben Malakabu, pemuda adat dari marga besar di Kampung Walal Salawati.

Editor: Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved