Produksi perikanan gurita (Octopus cyanea) di Indonesia memiliki nilai yang cukup tinggi. Berdasarkan data statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), jumlah produksi perikanan gurita di Indonesia pada 2020 sebesar 55.913 ton dengan nilai produksi sebesar Rp1,2 triliun. Daerah penyumbang produksi gurita terbesar adalah Nusa Tenggara Timur (19.102 ton), kemudian disusul oleh Sulawesi Tengah (10.411 ton), dan Jawa Timur (7.838 ton).
Selain jumlah produksi yang tinggi, gurita merupakan salah satu komoditi ekspor dengan nilai yang cukup bersaing. Data dari International Trade Centre (ITC) Trade Map menunjukkan volume ekspor gurita sepanjang 2020 mencapai 17.752 ton dengan nilai ekspor sebesar USD 68,5 juta atau setara dengan Rp 979,4 miliar. Negara tujuan ekspor gurita terbesar pada 2020 adalah China (3.464 ton), Italia (3.343 ton), dan Amerika (2.837 ton).
Pada webinar yang diadakan tanggal 29 Januari 2022 oleh Jaring Nusa, Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Laut Indonesia (YKLI), Nirwan Dessibali, memaparkan bahwa pada 2021, ekspor gurita di Sulawesi Selatan mencapai 3.906 ton. Sedangkan untuk produksi gurita di Indonesia rata-rata mencapai 12.834 ton per tahun.
Baca juga: Kapok Pakai Bom Ikan
Untuk mengelola potensi gurita yang besar itu YKLI berencana melakukan pengelolaan perikanan gurita skala kecil di Pulau Langkai dan Pulau Lanjukang, Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan dengan sistem buka-tutup. “Ini adalah aturan yang coba kami replikasi dari berbagai wilayah lain, tentunya perlu perencanaan yang partisipatif dan menyeluruh,” kata Nirwan.
Menurut Nirwan, sistem yang serupa juga dapat ditemukan di Banggai Laut, Sulawesi Tengah. Lebih lanjut Nirwan menambahkan rencana sistem buka-tutup di Pulau Langkai dan Pulau Lanjukang akan berlangsung selama 3 bulan dengan wilayah yang masih dibahas bersama nelayan.
Gurita merupakan komoditas perikanan skala kecil yang ramah lingkungan. Biasanya, gurita hasil tangkapan akan dijual oleh nelayan kepada pengepul di tingkat desa. Penentuan kategori ukuran dan harga gurita bergantung pada masing-masing pengepul.
Baca juga: Abon Wambon, Oleh-oleh Baru dari Boven Digoel
Nelayan biasa menangkap gurita menggunakan sampan kecil dan alat tangkap sederhana seperti tombak, ‘pocong-pocong’, dan ‘doang-doang’. Pocong-pocong adalah alat tangkap sederhana berbahan kayu yang berisi timah dan dilapisi kain berwarna yang dibentuk menyerupai gurita. Sedangkan doang-doang adalah alat tangkap dengan bentuk menyerupai kepiting yang ditambahkan kail pada setiap sisinya.
Gurita memiliki kemampuan mengubah warna tubuhnya agar menyerupai lingkungan sekitar (kamuflase). Eksperimen yang dilakukan oleh Josef et al (2012) menunjukkan bahwa dalam berkamuflase, gurita memilih pola warna spesifik di lingkungan sekitarnya. Tujuannya adalah untuk mengelabui musuh dan mencari mangsa.
Penelitian yang dilakukan di Tanzania melaporkan bahwa keberadaan gurita dipengaruhi oleh kondisi perairan sekitar seperti suhu permukaan laut dan klorofil-a. Meskipun begitu, siklus hidup yang cepat membuat gurita dapat ditemukan hampir sepanjang tahun.
Baca juga: Mendongkrak Produktivitas Pala di Kaimana
Selain di Sulawesi Selatan, Maluku juga memiliki nilai produksi gurita yang bersaing. Statistik KKP mencatat produksi gurita di Maluku ada 2020 sebesar 3.817 ton. Selain dijual ke pengepul, hasil tangkapan juga dapat diolah menjadi gurita kering. Penelitian yang dilakukan Ngabalin (2018) melaporkan bahwa produksi gurita kering di Kecamatan Kei Kecil Barat, Maluku dapat mencapai 25 kemasan/minggu. Sedangkan untuk gurita di Papua nilai produksinya pada 2020 mencapai 302,67 ton.
Editor: Leo Wahyudi & Nur Alfiyah