EcoStory

Konsep Konservasi Jangan Gerus Kearifan Lokal

Bagikan Tulisan
Peneliti muda Antoni Ungirwalu berharap kebijakan yang hendak dibawa masuk ke Tanah Papua harus memperhatikan budaya masyarakat setempat (Yayasan EcoNusa/Moch Fikri)

Pemerintah Pusat seringkali abai terhadap kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Penyamarataan konsep dan tujuan pembangunan di semua wilayah Indonesia acap kali menggerus kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat.

Sebagai contoh, masyarakat adat di dalam dan sekitar kawasan hutan sudah memiliki cara sendiri untuk merawat hutan tanpa sebuah konsep yang dikenal secara umum bernama konservasi. Masyarakat adat tahu wilayah mana yang bisa dijadikan area bercocok tanam dan tempat tinggal, sementara ada wilayah yang tidak dapat diganggu dan disakralkan. Sayangnya, konsep yang dibawa oleh Pemerintah Pusat dan ilmuwan modern kerap melupakan hal ini

Hal itu lah yang juga dimiliki oleh masyarakat di Tanah Papua. Menurut Peneliti Muda Antoni Ungirwalu, banyak konsep yang dipaksakan masuk ke tanah Papua. Sayangnya, konsep-konsep yang masuk tidak memperdulikan budaya di tanah Papua yang sudah ada sejak dahulu.

Padahal, kehidupan masyarakat di Tanah Papua tidak lepas dari hutan. Pasalnya, 60% masyarakat berada di dalam kawasan hutan yang luasnya mencapai 80% dari keseluruhan luas wilayah daratan Papua dan Papua Barat.

“Terkadang pengelolaan dipaksakan karena mereka merasa bahwa masyarakat Papua itu tidak paham pengelolaan, tapi mereka sangat paham soal pemanfaatan wilayah,” ucap Antoni dalam Diskusi Lingkar Papua yang bertajuk Kehadiran Peneliti Muda untuk Membangun Tanah Papua Berkelanjutan, di Jakarta, Selasa (23/10/2018).

Dalam kesempatan tersebut dirinya memaparkan cuplikan dari penelitiannya yang berjudul Konstruksi Hutan-Budaya: Skenario Pengelolaan Sumberdaya Alam Adaptif Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Berbasis Masyarakat Adat di Papua Barat. Dirinya menyebut potensi dari masyarakat adat di dalam kawasan hutan adalah kearifan lokal yang dimiliki oleh mereka.

Salah satu contoh yang diteliti olehnya adalah bagaimana masyarakat lokal memberikan nilai dalam pengelolaan buah hitam di Papua. Menurutnya, pengelolaan yang berbasis kearifan lokal dengan sendirinya sudah memberikan nilai ekonomi.

“Jangan anggap bahwa masyarakat tidak punya konsep, mereka sangat luar biasa dengan konsep mereka,” ucap dia.

Dalam penelitiannya, dirinya menyebut jika selama ini konsep konservasi yang ditanamkan kepada masyarakat oleh pemerintah adalah kajian dan sistem dari luar daerah bahkan negeri yang implementasinya justru tidak memedulikan konsep konservasi yang sudah dimiliki masyarakat setempat. “Masyarakat sudah jauh ke sana dalam hal konservasi, sayangnya ini adalah pemahaman dan sistem yang informal, makanya perlu kajian, tulisan, paper, dan sebagainya supaya bagaimana bikin kearifan informal ini jadi formal,” imbuh dia.

Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Muda John Mampioper mencontohkan pengelolaan sagu di kabupaten Sentani, Papua juga turut menonjolkan aspek budaya. Pohon sagu pun dikelompokan berdasarkan kualitasnya sehingga penanganannya pun berbeda-beda.

“Jadi ada sagu yang memang disakralkan juga, itu yang kualitas tinggi. Hanya boleh ditebang atas perintah dari petinggi adat. Dengan demikian bisa kita lihat kalau pengelolaan sagu pun memiliki nilai budaya,” ucap dia.

Sayangnya laju konversi hutan yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan pemukiman dan tata ruang yang disusun oleh Pemerintah Daerah kerap menggerus hutan sagu. Oleh karena itu, hal itu juga berimplikasi pada hilangnya budaya yang dimiliki masyarakat lokal.

“Makanya sagu ini harus kita lindungi untuk menjaga kebudayaan masyarakat juga. Laju konversi hutan sagu tinggi. Kalau masyarakat kehilangan sagu, maka apa yang akan mereka makan, dan budaya mereka pun akan hilang,” tukas dia.

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved