Meski tak terlihat, Ozon (O3) berperan penting dalam melindungi makhluk bumi dari sinar ultraviolet B (UV-B). Pasalnya, paparan sinar ultraviolet B berlebih memberikan dampak yang tak bisa disepelekan.
Bagi manusia, beberapa efek tersebut ialah kanker kulit, katarak, dan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Sementara bagi ekosistem laut, keseimbangan rantai makanan menjadi terganggu. Fitoplankton, yang merupakan dasar rantai makanan terancam punah. Selain itu, sinar ultraviolet membuat pertumbuhan tanaman melambat yang juga akan mempengaruhi rantai makanan dan ekosistem di darat.
Penipisan ozon awalnya diketahui melalui penelitian di Antartika pada pertengahan tahun 1980-an. Kemudian, Susan Solomon, peneliti asal Amerika, mendapati ozon rusak oleh krolin dan brom yang dihasilkan Klorofluorokarbon (CFC). Selain CFC, bahan perusak ozon (BPO) lainnya adalah Halon, carbon tetraklorida, Methyl Chloroform, HCFC, Methyl Bromida, Bromochloromethane, Hidrobromofluorocarbon.
Berbagai zat BPO banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. CFC dan HCFC digunakan sebagai bahan pengembang dalam proses pembuatan busa dan panel insulasi, sebagai bahan pendingin, dan bahan pendorong dalam tabung semprot. Methyl Chloroform dan carbon tetraklorida digunakan sebagai bahan pelarut dan pembersih. Sebagai bahan yang efektif memadamkan api, Halon digunakan untuk memadamkan kebakaran. Metil bromida dapat ditemukan di pestisida.
Menyadari pentingnya melestarikan lapisan ozon, 24 negara sepakat bergerak bersama melalui Konvensi Wina tentang Perlindungan Lapisan Ozon dan ditindaklajuti dengan Protokol Montreal pada September 1987. Traktat tersebut mengatur pengawasan produksi, konsumsi, dan perdagangan BPO. Indonesia ikut ambil bagian setelah mereatifikasi traktat melalui Keputusan Presiden nomor 23 tahun 1992.
Upaya pemulihan ozon membuahkan hasil. Pengukuran lapisan ozon di Antartika pada September 2017 lalu, menunjukkan lubang ozon terkecil sejak 1988. Besarnya lubang mencapai 19,7 kilometer persegi atau setara dengan dua setengah kali Amerika Serikat. Hal itu terjadi berkat menghangatnya suhu Antartika.
Sayangnya, kondisi serupa tak terjadi di garis khatulistiwa dengan menguatnya sinar ultraviolet B yang masuk. Hasil penelitian yang merekam kondisi atmosfer salama 30 tahun tersebut telah dipublikasi di jurnal Atmospheric Chemistry and Physics. Para peneliti belum mengetahui dengan pasti penyebab penisipisan lapisan ozon tersebut. Diduga kandugan bahan kimia cat industri, semprotan aerosol, serta perubahan iklim turut berperan.
Hasil publikasi di jurnal Nature pada Mei 2018 lalu tak bisa disepelekan. Keberadaan CFC-11 terus bertambah di atmosfer selama beberapa tahun terakhir. Belum ada kesepatakan siapa yang bertanggungjawab atas peningkatan CFC tersebut.
Dalam momen Hari Pelestarian Ozon Internasional 2018 yang jatuh pada Minggu (16/9/2018), kita bisa turut berpartisipasi melindungi lapisan ozon. Caranya pun mudah. Program Lingkungan PBB (UNEP) menyebutkan beberapa hal yang bisa kita lakukan, diantaranya dengan menggunakan produk berlabel “ozone friendly” atau “HCFC Free”. Jika memungkinkan, matikan pendingin ruangan saat malam.
Sumber:
https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/07/160701_majalah_lubang_ozon
https://www.wwf.or.id/?41843/Melindungi-Ozon-Melalui-Green-Lifestyle
http://ozone.unep.org/ozone-and-you#the-solution-
http://www.menlh.go.id/mengapa-kita-perlu-melindungi-lapisan-ozon/
https://sains.kompas.com/read/2018/06/30/170800823/sudah-diilegalkan-sejak-1987-kok-cfc-muncul-lagi-