EcoStory

Mengolah Benih untuk Ketahanan Pangan

Bagikan Tulisan
Warga Kampung Kombif, Distrik Mare, Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat, mengolah benih dan bibit sebagai bekal menuju ketahanan pangan. (Yayasan EcoNusa/Beyum Antonela)

Pandemi COVID-19 tak membuat masyarakat Kampung Kombif, Distrik Mare, Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat, mengharapkan bantuan dari berbagai pihak agar dapat melanjutkan hidup. Mereka hidup mandiri dengan mengolah lahan perkebunan di pekarangan rumah dan di sekitar kampung mereka. Keterampilan dalam mengolah bibit menjadi salah satu bekal menuju ketahanan pangan yang dibangun oleh masyarakat Kampung Kombif.

“Selama ada corona, masyarakat sudah punya stok pangan sendiri. Masyarakat tak mengharapkan bantuan karena ada sayur-mayur dan umbi-umbian. Itu pun, kemarin stok beras di kampung habis. Tapi masyarakat tidak panik karena ada sagu, petatas, dan keladi,” kata Beyum Antonela, warga Kampung Kombif.

Masyarakat Kampung Kombif terbiasa berkebun sejak dahulu. Mereka mengolah lahan perkebunan di luar kampung dengan menanam bayam, terong, tomat, kangkung cabut, cabai, dan daun gebi. Beyum mengatakan, sebelumnya masyarakat tak terbiasa menggarap lahan di sekitar pekarangan rumah. Mereka beranggapan bahwa tanah di lahan pekarangan tak bagus untuk ditanami karena banyak sampah berserakan. Banyaknya ayam yang dipelihara masyarakat juga berpotensi merusak tanaman.

Menurut Beyum, masyarakat Kampung Kombif sempat bergantung pada toko penyedia bibit pertanian yang ada di kota. Harga bibit bervariasi, mulai dari Rp90.000 hingga Rp150.000 per kantong. Selain itu, masyarakat harus merogoh kocek sebesar Rp600.000 untuk biaya transportasi pergi-pulang ke kota menggunakan mobil dobel gardan.

“Itu mahal sekali. Mereka membayangkan benih dari toko tidak bisa dibuat menjadi benih baru lagi. Jadi, kita buat benih baru dari benih yang kita dapat dari toko. Kami dorong masyarakat agar tahu cara menghasilkan benih untuk kampung itu sendiri,” ujar Beyum.

Keterampilan teknik pembuatan benih didapatkan saat Beyum mengikuti Sekolah Transformasi Sosial (STS) di Distrik Klayili, Kabupaten Sorong, pada November 2019. STS merupakan bagian dari rangkaian kegiatan program Eco-Involvement yang diselenggarakan oleh Yayasan EcoNusa dan bekerja sama dengan INSIST.

Selama penyelenggaraan STS, para peserta mempelajari pengolahan lahan pertanian, pembibitan, pembuatan pupuk organik. Mereka juga belajar keterampilan praktis lain, seperti identifikasi lahan kritis, pengukuran tingkat kesuburan tanah, pengukuran mutu air, dan pendalaman sistem pengelolaan sumber daya dan ekosistem lokal.

“Apa yang kita dapatkan saat ikut STS kita pakai juga di kampung. Kita padukan dengan kondisi tanah di kampung dan pengalaman masyarakat. Untuk proses pembuatan pupuk dan penyemprotan hama memang belum (diterapkan di kampung). Masyarakat lebih membiarkan alam yang menyuburkan tanaman,” papar Beyum.

Praktik pertanian berkelanjutan di Kampung Kombif menghasilkan panen yang berlimpah. Selain telah memenuhi kebutuhan, Carmelita Mamonto, Koordinator Region Maluku Yayasan EcoNusa, mengatakan bahwa masyarakat Kampung Kombif ingin hasil panen seperti cabai dan sereh wangi serta sayur-mayur dijual ke luar kampung. Sayangnya keinginan mereka tersebut terhambat oleh infrastruktur.

“Mereka terhambat akses jalan yang sangat sulit dilalui. Untuk mengantisipasi hal itu, hasil pertanian harusnya tidak dalam bentuk mentah lagi, tapi diolah seperti menjadi bubuk cabai atau minyak atsiri dari sereh wangi,” kata Carmelita.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved