Pemerintah Papua Barat melakukan evaluasi terhadap seluruh izin terkait perkebunan sawit yang telah dikantongi perusahaan. Sejak 2018, mereka meminta perusahaan yang beroperasi di Papua Barat untuk melengkapi dan menyampaikan data perizinan perkebunannya kepada pemerintah Papua Barat. Hasil temuan mendapati bahwa tak semua hutan primer dan kawasan berhutan telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Masih ada banyak Kawasan berhutan sehingga terbuka kesempatan untuk dapat menyelamatkan tutupan hutan di Tanah Papua. Sejumlah perusahaan juga menyatakan tak akan melanjutkan operasional perkebunan.
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Provinsi Papua Barat, Benidiktus Hery Wijayanto mengatakan, evaluasi izin perusahaan perkebunan sawit merupakan amanat dari Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau Inpres Moratorium Sawit.
“Evaluasi izin ini juga sejalan dengan Deklarasi Manokwari tentang Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Wilayah Adat di Tanah Papua yang terbit 2018 lalu. Jadi ada benang merahnya. Kami ingin perusahaan di lapangan memperhatikan prinsip lingkungan yang berlaku yang boleh jalan,” kata Hery kepada EcoNusa pada 26 Januari 2021.
Proses evaluasi izin perkebunan sawit dilakukan bersama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga antirasuah tersebut menjadi salah satu dari 27 kementerian dan lembaga yang terlibat dalam Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) sejak 2015 lalu. Selain itu, Pemerintah Papua Barat juga menggandeng Yayasan EcoNusa dalam membantu analisis hukum dan spasial.
Hery menuturkan, tercerai-berainya dokumen yang dimiliki pemerintah Papua Barat menjadi kendala awal dalam proses evaluasi. Mereka kemudian membuat matriks temuan dan rekomendasi sebagai pedoman pengumpulan semua data yang nantinya dikonfirmasi kepada perusahaan. Tim evaluasi juga melakukan terbang rendah (fly over) untuk mengonfirmasi kondisi lahan perkebunan di lapangan.
“Kami pakai instrumen Penilaian Usaha Perkebunan ke semua perusahaan. Kalau hanya menggadai-gadai (lahan), hanya punya izin sedikit, sudah kadaluwarsa, izinnya tidak berlaku, tidak boleh (beroperasi). Kami tidak ingin terulang,” ujar Hery.
Fungsional Direktorat Monitoring KPK, Sulistyanto, mengatakan bahwa evaluasi izin perkebunan sawit di Papua Barat merupakan langkah perbaikan tata kelola perizinan. Dalam temuan KPK, ekosistem pengelolaan perizinan empat sektor yang dibidik GNPSDA – kehutanan, pertambangan, perkebunan, kelautan dan perikanan – masih mengkhawatirkan. Menurut Sulistyanto, perbaikan ekosistem perizinan akan meminimalisir potensi korupsi.
“Tumpang tindihnya luar biasa. Misalnya antara HGU (Hak Guna Usaha) sawit dengan pertambangan, HGU sawit dengan HTI (Hutan Tanam Industri, HGU sawit dengan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Artinya, dalam konteks perizinan berbasis lahan ini sebenarnya carut marut antar izin luar biasa,” papar dia.
Menurut Sulistyanto, kerja kolaboratif membuat proses peninjauan izin menjadi lebih efektif. Analisis administrasi perizinan dan spasial serta klarifikasi temuan ke perusahaan membuat validitas data yang didapatkan tim teruji. Saat ini, tim evaluasi perizinan sedang memfinalisasi hasil evaluasi untuk segera disampaikan kepada Gubernur Provinsi Papua Barat Dominggus Mandacan.
Baik Hery dan Sulistyanto, keduanya sepakat metode yang digunakan selama proses evaluasi izin dapat diterapkan di sektor lain, seperti di sektor pertambangan, kehutanan, kelautan dan perikanan. “Meskipun bisa jadi tipologi persoalannya berbeda, tapi secara proses, strategi dan sebagainya, mungkin bisa kita adopsi jadi pembelajaran bagi provinsi lain,” ucap Sulistyanto.
Editor: Leo Wahyudi & Cindy Junicke Simangunsong