Cinta dan kasih sayang yang memanas menyenangkan untuk disaksikan dan dipelajari. Kalimat itu tidak terinspirasi dari percakapan film remaja yang tengah dimabuk kepayang oleh cinta. Tidak juga terilhami dari kondisi mental saat kalimat itu dituliskan. Tidak pula untuk yang lain.
Bila cinta dan kasih sayang memanas, kemungkinan besar kita akan merasakan kebahagiaan dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Merasakan perasaan tersebut adalah sebuah berkah yang tidak ternilai. Sebaliknya, yang paling tidak menyenangkan, bahkan menakutkan, bila yang memanas adalah suhu bumi. Suhu bumi yang memanas hanya akan mendatangkan petaka bagi manusia.
Dihimpun dari Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK, kenaikan suhu bumi akan berdampak signifikan dalam mengubah sistem iklim. Ini mempengaruhi berbagai aspek pada perubahan alam dan kehidupan manusia, seperti kualitas dan kuantitas air, habitat, hutan, kesehatan, lahan pertanian dan ekosistem wilayah pesisir.
Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) merilis laporan suhu rata-rata global bumi pada 2020. Laporan itu menyebutkan terjadi kenaikan 1,02 derajat Celsius lebih hangat dibanding rata-rata dasar 1951-1980.
Kita mungkin akan membayangkan kenaikan suhu bumi tidak mungkin terjadi di tengah pandemi COVID-19 yang menjalar ke seluruh dunia telah berlangsung sejak awal tahun 2020. Beragam aktivitas berhenti, perekonomian melambat, pembakaran energi pun berkurang. Namun, sebuah riset yang dipublikasikan di jurnal Earth System Science Data menyebut pandemi COVID-19 menyumbang penurunan emisi karbon dioksida turun sekitar 7 persen, penurunan emisi terbesar sejak Perang Dunia Kedua. Meski emisi berkurang, nyatanya konsentrasi karbon dioksida secara keseluruhan terus meningkat.
Selain NASA, Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat (NOAA) mendapati kesimpulan yang serupa bahwa 2020 adalah tahun terpanas kedua setelah 2016. Jika peningkatan suhu bumi pada 2016 didorong oleh El Nino yang cukup intens, maka suhu bumi pada 2020 tak didorong oleh fenomena alam yang serupa. Justru penyebabnya adalah peningkatan gas rumah kaca. Dengan kata lain, gas rumah kaca di atmosfer berperan lebih besar dalam meningkatkan suhu bumi.
Sementara itu, dengan menganalisis data dari enam lembaga pemantau suhu, Carbon Brief membuat kesimpulan bahwa 2020 merupakan tahun terpanas sepanjang sejarah. Pada tahun tersebut, rata-rata suhu permukaan bumi naik 0,10 derajat Celsius dari kenaikan suhu pada 2018.
Kenaikan suhu bumi tidak hanya membuat udara terasa panas dan tubuh berkeringat lebih deras. Kenaikan suhu bumi justru memiliki implikasi yang luas hingga menyebabkan hilangnya lapisan es dan es laut di Kutub Utara dan Selatan. Termasuk kenaikan permukaan laut yang akan melenyapkan pulau-pulau kecil, gelombang panas, serta pergeseran habitat hewan dan tumbuhan.
Fenomena cuaca ekstrem juga menjadi salah satu implikasi kenaikan suhu bumi akibat pemanasan global. Cuaca ekstrem menimbulkan banjir, longsor, angin kencang hingga gelombang tinggi seperti yang baru saja terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menelan korban lebih dari 138 jiwa merupakan contoh nyata. Bencana ini merupakan fenomena langka yang terjadi akibat pemanasan global.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan penyebab cuaca ekstrem di NTT terjadi karena tiga faktor, yakni badai Siklon Tropis Seroja, kelembapan udara, dan kecepatan angin. Badai siklon tropis Seroja merupakan fenomena langka, bahkan baru pertama kali terjadi di NTT maupun Nusa Tenggara Barat (NTB). Umumnya, badai siklon tropis terbentuk di lautan dan tidak masuk ke daratan. Namun siklon tropis Seroja terbentuk di daratan Kupang.
Dalam catatan BMKG, badai siklon tropis terjadi sekitar 2-4 tahun sekali, misalnya terjadi pada 2008, 2010, dan 2014. Sejak 2017 intensitas terjadinya badai siklon meningkat, kemunculannya bisa s sekali atau dua kali dalam setahun. BMKG pun menghimbau agar masyarakat waspada dan menyiapkan langkah mitigasi sebab badai siklon akan menjadi fenomena rutin tahunan.
Jika kondisi seperti ini terus berlanjut, ramalan menyedihkan yang diucapkan para tokoh dunia akan menjadi nyata. Naturalis David Attenborrough, dalam otobiografinya, Life on Our Planet, meramalkan kekacauan perang dunia akibat penerobosan batas negara guna mencari perlindungan dari suhu ekstrem, gagal panen, dan kelaparan massal.
Untuk mencegah hal itu terjadi, Bill Gates menganjurkan penggunaan teknologi dan inovasi seperti mengganti energi fosil, serta mengurangi asupan daging agar hutan tidak beralih fungsi menjadi peternakan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menganjurkan metode pencegahan pemanasan global yang relatif dapat dilakukan siapa saja, yakni dengan menanam sebanyak mungkin pohon.
Selain menanam sebanyak mungkin pohon, yang tak kalah penting adalah menjaga ekosistem hutan primer yang masih ada. Kabar gembira terkait hal ini tersiar pada awal tahun dari Provinsi Papua Barat. Hasil evaluasi perkebunan kelapa sawit terhadap 24 perusahaan pemegang izin di provinsi berlambang burung kasuari itu berhasil menyelamatkan 383.431,05 hektare wilayah berhutan.
Evaluasi perizinan tersebut mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan Sawit, Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam yang digagas oleh KPK, serta Deklarasi Manokwari.
Hutan primer di Tanah Papua merupakan pertahanan terakhir Indonesia dalam menjaga laju pemanasan global. Kepadatan tutupan hutannya tidak hanya menyimpan banyak karbon dioksida melainkan menjadi rumah bagi jutaan makhluk hidup. Untuk kategori flora, Tanah Papua dan Papua Nugini menempati urutan pertama biodiversitas tertinggi di dunia.
Setiap tanggal 22 April kita merayakan Hari Bumi Sedunia. Tahun ini tema yang diusung adalah “Pulihkan Bumi Kita” atau “Restore Our Earth”. Banyak cara yang dapat kita lakukan untuk memulihkan bumi demi mempertahankan tempat tinggal kita satu-satunya. Mempertahankan hutan di Indonesia adalah langkah konkret untuk mencegah bumi dari bencana ekologis di masa mendatang.
Editor: Leo Wahyudi