Ketika tim EcoNusa Covid-19 Response Raja Ampat tiba di Kantor Kampung Sawinggrai, Distrik Meos Mansar, Papua Barat, pada September lalu, para mama tampak antusias sekali mengikuti penyuluhan pertanian. Beragam pertanyaan mereka ajukan. Termasuk persoalan tanah di Sawinggrai yang menurut para mama tidak cukup subur untuk bercocok tanam.
Pertanyaan itu dijawab oleh dua anggota tim penyuluh EcoNusa, Jemima Desi Wamna dan Utreks Hembing, dengan memberikan wawasan tentang pertanian organik kepada warga. Mereka semula hanya mengetahui soal ladang berpindah, yang ditinggal setelah ditanam. Setelah mendengarkan penjelasan kedua penyuluh pertanian dari EcoNusa, mereka pun mengetahui bahwa ada cara alternatif untuk bercocok tanam. Pelan-pelan mereka belajar mengenai tahapan-tahapan seperti pemupukan dan pengentasan hama.
Tim EcoNusa lalu diajak Mama Tabita Rumbewas, satu peserta penyuluhan, dan Paulina Mambrasar, cucunya, melihat kebun mereka. Mereka melangkah di jalan menanjak selama seperempat jam. Dengan membawa parang dan keranjang daun tikar pandan, mereka tiba di sebuah kebun seluas 100 x 80 meter. Kebun itu dikelilingi pagar kayu setinggi satu meter.
“Agar tak dimasuki babi hutan,” jelas Mama Tabita.
Tanaman di sana tidak terlalu variatif. Hanya ada kasbi, betatas, dan jagung. Mama Tabita sempat mencoba menanam cabai dan tomat, namun keduanya tidak tumbuh dengan baik. Menurut Utreks, penyuluh pertanian EcoNusa, perlu perawatan ekstra bagi kebun yang berada di tanah seperti di Sawinggrai, apalagi untuk sayuran.
Kebun itu mulai digarap kembali oleh anak-anak Mama Tabita sejak Februari 2020 lalu. Kebun ini sebetulnya sudah ada. Namun, karena semua orang sibuk mengurus homestay dan mencari uang lewat pariwisata, kebun itu terbengkalai.
“Mama berterima kasih sama corona, karena berkat corona Mama bisa berkumpul dengan anak-anak dan cucu. Tanah yang selama ini tidak jadi apa-apa, sudah bisa jadi kebun,” senyum Mama Tabita Rumbewas mengembang. Baginya, homestay yang sepi punya hikmah tersendiri. Sepinya kunjungan tamu justru membuat kegiatan keluarga untuk berkebun menjadi hidup kembali.
Mama Tabita dan cucunya menggali beberapa titik di kebun itu. Sebentar saja, keranjang mereka sudah penuh dengan kasbi dan betatas. Semua itu sudah lebih dari cukup untuk dijadikan camilan sore bagi anak-anak dan cucu-cucu yang berkumpul di rumah.
Kristian Sauyai, warga Sawinggrai lainnya yang juga Ketua Badan Pelaksana PERJAMPAT, mengatakan kampung itu adalah salah satu incaran wisatawan Eropa. Lokasinya yang jauh dari keramaian membuat Sawinggrai pas sekali untuk bersantai. Tak tanggung-tanggung, para wisatawan bisa menginap sampai berbulan-bulan.
“Ada bule yang tiap Natal selalu menginap di sini, misa di gereja sama-sama orang kampung,” Kristian berkisah. “Rencananya tahun ini (mereka) mau kembali lagi untuk janji nikah di gereja kami. Sayang corona membuat dia menunda rencananya.”
Kristian sendiri memulai usaha Homestay Mandarin sejak 2017. Awalnya, ia hanya punya dua homestay. Seiring perkembangannya, homestay itu berkembang menjadi lima. Unit miliknya yang berada di sebelah timur Kampung Sawinggrai adalah sumber pemasukan utamanya. Dengan penginapan itu ia menafkahi keluarga dan menyekolahkan adiknya jauh-jauh sampai ke Jawa.
Homestay yang langsung berhadapan dengan laut itu memang sangat cocok untuk wisatawan yang menyukai kesunyian. Namun, karena materialnya adalah kayu dan daun nipah, sekarang bangunan itu sudah mulai hancur. Atap daun nipahnya sudah banyak yang bolong.
“Ini hanya bertahan 1-2 tahun saja, itu pun kalau secara rutin diperiksa. Jika ada daun yang rusak sedikit harus langsung diperbaiki,” jelas Kristian.
Pandemi membuat homestay-homestay di Sawinggrai kosong. Untuk sementara, mereka tidak punya pemasukan dari sektor pariwisata. Demi menyambung hidup, mereka mesti mencari cara lain untuk makan. Mereka menghidupkan kembali kegiatan berkebun.
Editor: Leo Wahyudi