EcoStory

Usai Sekolah Transformasi Sosial, Kepala Kampung Yakin Vanili Menyejahterakan Masyarakat

Bagikan Tulisan
Kepala Kampung Warlef, Yehuda Kmur, di lahan vanili miliknya. (Yayasan EcoNusa/Alberth Yomo)

Pria itu melangkah pelan melewati sejumlah tegakan pohon gamal muda yang dirambati tanaman vanili pada kebun di belakang rumahnya. Ia kemudian menyusun sabut kelapa yang ia bawa, mengitari tegakan pohon gamal lainnya di lahan seluas 50 x 30 meter itu. “Sudah ada 100 pohon vanili yang bapak (saya) tanam,” ujarnya, Jumat, 20 Januari 2023.

Ia Yehuda Kmur, Kepala Kampung Warlef, Distrik Senggi, Kabupaten Keerom yang usianya 38 tahun. Usia ini tergolong muda untuk ukuran kepala kampung di Papua yang rata-rata di atas 50 tahun.

Yehuda merupakan salah satu kepala kampung yang mengikuti Workshop Kepala Kampung (WKK) di Kampung Wambes, Keerom, selama tiga hari pada Oktober 2022. Workshop tersebut diikuti oleh para kepala kampung dan Badan Musyawarah Kampung (Bamuskam) dari 14 kampung di Keerom dan Jayapura.

Baca Juga: Pembangunan Homestay di Arefi Timur, Upaya Pemulihan Ekonomi Masyarakat

Workshop Kepala Kampung merupakan rangkaian kegiatan School of Eco-Involvement (SEI) yang bertujuan membangun ketangguhan kampung. Program tersebut diadakan oleh Yayasan EcoNusa bersama Pemerintah Kabupaten Keerom, Yayasan Intsia, dan Pt. PPMA (Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua). Setelah WKK, kegiatan SEI dilanjutkan dengan Sekolah Transformasi Sosial (STS) yang diikuti oleh para kader dari 14 kampung tersebut.

Ketika para peserta yang lain pulang, Yehuda memilih tetap tinggal dan mengikuti STS. Keputusannya itu diambil karena terdorong oleh keinginan yang kuat untuk mengikuti pembelajaran ilmu budidaya vanili yang akan diberikan pada kelas STS selama tiga hari. Yehuda bukan saja seorang kepala pemerintahan kampung, tapi juga petani vanili pemula.

Sepulang mengikuti STS, para kader dari Kampung Warlef kemudian mengadakan Sekolah Kampung untuk menularkan ilmunya kepada masyarakat kampung. Warlef didominasi oleh marga Kmur, Wambaliau, Apanawas, Konosri, Swe, Yunam, Mawa dan Sauri. Ada 15 warga Warlef yang ikut belajar cara membudidayakan vanili.

Baca Juga: Sekolah Kampung Waimon dan Kamisle: Pelatihan untuk Kemajuan Kampung

Sebagai kepala kampung, Yehuda berkomitmen terus mendorong mereka agar konsisten menerapkan ilmu budidaya tersebut. Karena menurutnya, vanili adalah salah satu alternatif yang dapat menjembatani peningkatan derajat hidup masyarakat di masa depan. Ia pun berjanji mengalokasikan sebagian dana kampung untuk memfasilitasi budidaya vanili.

Yonathan Wambaliau di kebun miliknya. (Yayasan EcoNusa/Alberth Yomo)

Salah satu warga yang ikut belajar membudidayakan vanili adalah Yonathan Wambaliau. Meski sudah berumur 65 tahun dan menyandang disabilitas, ia masih bersemangat untuk bertani vanili di lahan di belakang rumah. Ada 100-150 tanaman vanili yang sudah ia tanam pada lahan seluas 100 x 30 meter persegi di belakang rumahnya. Sekolah kampung yang digagas oleh EcoNusa telah menambah pengetahuannya untuk bertani vanili dengan lebih baik lagi.

Yehuda sendiri mempraktikkan ilmu budidaya vanili di belakang rumahnya. Bibit vanili ia beli dari temannya di Distrik Waris Rp 10ribu per batang. Sebelum ditanam, ia terlebih dahulu menancapkan batang pohon gamal setinggi dada orang dewasa yang berfungsi sebagai pelindung. Kemudian meletakan sabut kelapa mengelilingi batang gamal. Lalu bibit vanili diikat pada batang gamal dan batang bawahnya diletakkan di atas tumpukan sabut kelapa.

Baca Juga: Membangun Asa Baru dari Vanili di Sekolah Kampung Molof dan Warlef, Keerom

“Tujuannya untuk menghindari terjadinya busuk akar, akibat tanah yang basah,” katanya. Seratus pohon vanili yang ia tanam saat ini masih dalam tahap perawatan. Ia yakin 3 tahun ke depan, vanilinya sudah bisa dipanen dan dipasarkan.

Dengan adanya contoh yang baik, ia yakin 300 kepala keluarga di kampungnya bisa memberikan dampak positif, bukan hanya kepada 600 jiwa di Warlef, tapi juga pada kampung lainnya di sekitar Distrik Senggi.

Editor: Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved