EcoStory

Tradisi Berburu dan Meramu Suku Irarutu di Teluk Bintuni

Bagikan Tulisan
Seorang pemuda dari Kampung Kawaf siap berburu dengan membawa parang dan tombak. (Yayasan EcoNusa / Redemptus Anggur)

Di Kampung Kawaf, Distrik Kaitaro, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, sebagian besar masyarakat masih menggantungkan hidup dari kegiatan berburu dan meramu. Mereka memanfaatkan sumber daya hutan, termasuk hutan sagu sebagai ruang hidup dan tempat mencari pangan, terutama protein hewani seperti rusa, babi hutan, dan lao-lao.

Bagi masyarakat Kawaf, keberadaan hutan adalah penopang utama kebutuhan harian. Ketika ditanya tentang arti tanah atau lahan, jawaban mereka umumnya sebagai tempat “mencari makan”. Bagi mereka, tanpa hutan berarti hilangnya akses terhadap pangan: tidak ada lao-lao, tidak ada rusa, tidak ada babi.

Situasi ini tercermin saat menelusuri kampung. Banyak rumah tampak kosong karena penghuninya berada di dusun atau hutan, menokok sagu atau berburu. Aktivitas ini tidak hanya mencerminkan ketergantungan terhadap hutan, tetapi juga cara hidup yang diwariskan secara turun-temurun.

Kehidupan masyarakat Kawaf dibangun di atas prinsip solidaritas, egalitarianisme, dan timbal-balik (resiprositas). Nilai-nilai ini menjadi bagian penting dalam struktur sosial komunitas. “Hasil buruan tidak hanya dikonsumsi untuk keluarga inti, tetapi juga dibagikan kepada tetangga dan warga kampung lainnya,” kata Dorteis Wasiani, salah satu warga yang biasa berburu ke dalam hutan.

Baca Juga: Rusa, Potensi Pendapatan Sekaligus Hama di Kampung Guriasa

Kebiasaan berbagi ini bukan semata bentuk kemurahan hati, melainkan cerminan sistem sosial yang telah berlangsung lama. Bahkan, tamu yang datang ke kampung pun tidak luput dari praktik berbagi ini.

Cerita Dorteis tidak hanya saya dengar, tetapi saya alami sendiri sesaat setelah tiba di Kawaf. Kebaikan masyarakat begitu terasa ketika mereka memperoleh hasil buruan. Tanpa diminta, mereka memberikan daging berukuran besar, tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Dua hari kemudian, beberapa warga datang ke tempat saya menginap sambil memikul seekor babi hutan. Kali ini pun mereka memberikannya secara cuma-cuma.

Belakangan saya menyadari, kebiasaan berbagi di Kawaf tidak terbatas pada sesama warga kampung. Nilai itu juga berlaku bagi siapa pun yang datang dari luar. “Kalau sudah datang ke sini, berarti sudah jadi bagian dari kami,” ujar salah seorang warga. Sejak saat itu, saya tidak lagi dianggap sebagai orang asing, melainkan diterima sebagai bagian dari komunitas.

Teknik Berburu yang Berkembang

Tradisi berburu di Kawaf telah mengalami perkembangan seiring waktu. Dahulu, para leluhur berburu tanpa pakaian, hanya mengenakan cawat, dan menyatu sepenuhnya dengan hutan. Teknik berburu dilakukan dengan perangkap tradisional menggunakan batang sagu. Batang tersebut dipotong, dilubangi sedalam ukuran tubuh babi, dan disamarkan dengan daun sagu agar babi tidak mencurigai kehadiran manusia.

Jika hewan masuk ke dalam perangkap, lubang segera ditutup dan hewan tersebut ditombak. Metode ini menuntut pemahaman mendalam terhadap perilaku satwa dan lingkungan sekitarnya.

berburu
Seorang bapak memperlihatkan bekas jebakan babi yang dibuat dari pohon sagu di Kampung Kawaf. (Yayasan EcoNusa / Redemptus Anggur)

Kini, masyarakat Kawaf menggunakan berbagai alat berburu seperti tombak, anak panah, dan tali jerat. Anak panah biasanya terbuat dari batang nibung kecil dengan ujung berbentuk pengait agar tidak mudah terlepas setelah menancap. Ada pula panah bambu yang ujungnya diruncingkan, sementara pangkal dan tengahnya diperkuat untuk mencegah patah. Ada dua model yang biasa digunakan. Yang pertama panah berbentuk bulat dan ujungnya semacam ada pengait. Sementara ada anak panah ujungnya diruncingkan dan pada tengahnya dibuat melebar supaya terlihat lebih kuat. Anak panah kedua ini lebih mirip seperti tombak.

Tombak digunakan ketika berburu dari jarak dekat, sedangkan panah dipakai saat hewan buruan berada di kejauhan. Tombak umumnya berukuran lebih besar dan berat, dengan mata tombak logam yang lebih kuat.

Dua Metode Berburu: Langsung dan Jerat

Secara umum, terdapat dua metode utama berburu di Kawaf: berburu langsung dan memasang jerat. Berburu langsung dilakukan dengan melibatkan anjing pemburu, anak panah, atau tombak. Aktivitas ini dapat berlangsung siang atau malam. Pada siang hari, anjing memainkan peran penting dalam melacak hewan. Sedangkan pada malam hari, perburuan biasanya dilakukan di sekitar dusun sagu, dengan menggunakan senter dan tombak. Teknik ini memanfaatkan tombak karena menyesuaikan  keterbatasan cahaya agar sasaran lebih mudah ditangkap.

Baca Juga: Ironi di Kampung Kawaf: Miskin di Atas Kekayaan

Ada pun memasang jerat dilakukan pada siang hari dan membutuhkan persiapan yang lebih matang. Biasanya, satu pemburu menyiapkan hingga sepuluh jerat dalam waktu tiga hari. Keberhasilan teknik ini sangat bergantung pada pemahaman terhadap jejak dan jalur satwa.

Pemburu berpengalaman dapat membedakan bekas jalan satwa yang masih aktif atau sudah lama. Jalan yang baru biasanya tampak basah dan dalam, sedangkan yang lama cenderung kering. Penempatan jerat yang tepat memerlukan pengetahuan lapangan yang terasah dari waktu ke waktu.

Ancaman terhadap Keberlanjutan Satwa

Perkembangan teknik berburu, terutama penggunaan jerat dalam jumlah besar, mulai memunculkan tantangan baru. Menurut Dorteis, saat ini pemburu harus berjalan lebih jauh ke dalam hutan dan memasang lebih banyak jerat untuk mendapatkan hasil sebanyak dulu. Sebelumnya, buruan bisa didapatkan dari sekitar pinggiran kali.

Perubahan ini diperparah dengan masuknya pemburu dari luar kampung yang menggunakan senapan angin. Senjata modern ini meningkatkan efisiensi perburuan, namun juga memicu eksploitasi berlebihan terhadap satwa liar, terutama rusa dan babi hutan.

Baca Juga: Menjaga Hutan, Menjaga Kehidupan di Sorong Selatan

Kondisi ini mengkhawatirkan karena tekanan terhadap populasi satwa menjadi lebih tinggi dibanding kemampuan regenerasi alaminya. Jika tidak dikelola secara hati-hati, kondisi ini bisa mengancam keberlanjutan sistem pangan masyarakat Kawaf sendiri.

Kehidupan masyarakat Kawaf mencerminkan cara bertahan hidup yang sangat bergantung pada alam, namun tetap dilandasi oleh nilai kebersamaan dan saling berbagi. Di tengah perubahan zaman dan masuknya teknologi baru, tantangan terbesar mereka adalah menjaga keseimbangan antara mempertahankan tradisi dan melindungi keberlanjutan sumber daya alam.

Cerita dari Kawaf adalah potret masyarakat yang hidup berdampingan dengan hutan secara arif. Namun, keberlanjutan sistem ini akan sangat ditentukan oleh kemampuan mereka, dan kita semua, untuk memahami bahwa sumber daya alam, seberlimpah apa pun, tetap terbatas.

Editor: Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved