Yoboi merupakan salah satu dari sekian banyak kampung yang berada di tepian Danau Sentani, Papua. Di wilayah ini, masyarakat hidup berdampingan dengan ekosistem hutan sagu yang terbentang lebih dari 1.000 hektar dari generasi ke generasi. Hingga saat ini, ada 22 jenis sagu yang tumbuh subur di hutan tersebut. Dari sagu ini lah masyarakat Yoboi memenuhi kebutuhan sandang, papan, dan pangan.
Sagu, Tanaman Dewa
Menurut Billy Tokoro, salah satu pemuda Kampung Yoboi yang juga menjadi Ketua Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Yoboi, sagu ibarat tanaman dewa yang hampir seluruh bagiannya dapat dimanfaatkan.
“Dari atas sampai bawah, kita bisa gunakan untuk hidup. Daun sagu bisa dijadikan atap, kulit batangnya bisa kita pakai untuk dinding dan lantai, daun tadi juga bisa dibuat anyaman seperti tas. Batangnya bisa kita olah menjadi makanan. Setelah kita tebang, kita tunggu dua sampai tiga hari, ulat sagu muncul dan kita bisa makan,” tuturnya sambil menunjukkan batang-batang sagu yang telah dipanen kepada tim EcoNusa.
Selain itu, masyarakat setempat juga memanfaatkan ampas sagu sebagai media tanam. Adalah Debora Waly, atau akrab disapa Mama Debora, salah seorang pionir yang menggerakkan warga kampung untuk mengelola pertanian organik di Yoboi sejak 1990-an. Menurutnya, ampas sagu yang dicampur bersama lumut dan eceng gondok berguna untuk menyuburkan tanah.
“Di sini kami tidak punya tanah. Dulu kita punya orang tua tanam di ember-ember bocor, hanya taruh serai dan daun bawang begitu, ambil tanah dari dusun (hutan sagu). Saya bilang ke mereka (warga kampung), pernah ko liat to nene-nene tanam di tiang-tiang hanya saat mereka mau masak itu tinggal ambil. Baru kita bikin di para-para (halaman rumah) boks isi tanah untuk menanam. Di sini kami ada kasih campur lumut, eceng gondok baru ampas sagu dengan tanah dusun,” ujar Debora.
Mama Debora menunjukkan tanaman di kebun yang dimilikinya. Kebun itu sendiri tidak besar mengingat rumah-rumah di Kampung Yoboi didirikan terapung di atas Danau Sentani. Ada berbagai jenis sayuran yang ditanam mulai dari bayam, kol, selada, sawi, tomat hingga bumbu masakan seperti daun mint, cabai, dan bawang. Ia pun menambahkan, “Kita punya dusun itu sumber kehidupan. Walau kita tidak ada tanah, kita ambil tanah dari dusun. Begini kita langsung tancap, dia tumbuh. Kita masak papeda, sayur kita ambil dari sini sudah. Untuk lauk kita bisa masak ulat sagu. Semua asalnya dari kita punya dusun sagu.”
Sagu, Pangan Asli Orang Papua
Sagu melekat dalam budaya orang Papua. Bahkan untuk memanen sagu, orang Papua biasanya membuat pondok di tengah hutan sebagai tempat beristirahat. Hal tersebut diutarakan Charles Toto, koki dan pegiat makanan khas Papua yang ditemui di restorannya, Ungkea Jungle Resto.
Tak heran, sagu menjadi salah satu bahan baku yang banyak ditemui dalam makanan khas Papua. Selain menjadi makanan pokok, sagu juga diolah menjadi berbagai cemilan yang dicampur dengan berbagai topping. Di sekitar Sentani sendiri, masyarakat mengenal ouw, papeda bakar yang disajikan dengan berbagai topping seperti pisang, jamur, ikan hingga ulat sagu.
Meskipun sagu dapat ditemukan dalam komposisi berbagai makanan khas Papua, banyak orang asli Papua yang pelan-pelan mulai beralih pada nasi. Charles Toto berpendapat bahwa pemerintah memiliki andil dalam pergeseran selera pangan masyarakat di Papua. “Masyarakat Indonesia, khususnya Papua, harus lebih mencintai pangan lokal. Dari data yang saya pelajari, sagu lebih banyak di sini. Kami berharap ini didorong sebagai pangan utama, bukan pemerintah malah gantikan itu dengan tanaman lain yang bukan jati diri orang Papua. Dengan sawah, sawit, dan lain-lain.”
Hal senada juga dilontarkan Billy. Meskipun kampungnya memiliki potensi sagu yang besar, masyarakat di sana masih menjadikan nasi sebagai makanan pokok sehari-hari. Olahan sagu lebih banyak dikonsumsi saat hari-hari besar atau acara-acara penting saja.
Sagu Tak Sekedar Bahan Pangan
Sebetulnya, jika diolah dengan serius, sagu tidak hanya menjadi sumber pangan sehari-hari, namun juga komoditas bernilai ekonomi. Menurut I Made Budi, akademisi dari Universitas Cenderawasih, masyarakat Yoboi perlu meningkatkan kualitas produksi sagu dengan membuat produk turunan. Contohnya, dengan membuat es krim sagu, mie sagu, kerupuk sagu, brownies sagu, bakso sagu, dan sebagainya.
Selain itu, budidaya ulat sagu juga perlu dilakukan secara serius karena selama ini ulat sagu langsung diambil dari hutan dan dijual. “Budidaya pengembangan ulat sagu harus dikembangkan di Kampung Yoboi. Jadi ada banyak metode. Kalau di Thailand itu pakai pakai toples-toples, ember-ember, lalu ditutup dengan talang nyamuk. Masukkan di dalam ember itu, kumbangnya barang empat-lima biji. Dalam seminggu sudah jadi ulat,” ungkap Made.
Ia pun menambahkan bahwa pengelolaan sagu perlu terintegrasi dari hulu hingga hilir, jangan sampai ada limbah yang terbuang sia-sia dan menimbulkan pencemaran.
“Pengelolaan sagu harus dilakukan terintegrasi. Dari daun dan kulit bisa dijadikan kebutuhan bangunan. Batang sagu bisa dijadikan tepung. Hingga ampasnya bisa disimpan sebagai pakan ternak seperti sapi. Kemudian sapinya bisa dipotong dan dijual kembali, menghasilkan lebih daripada dengan menjual sagu saja,” Made memaparkan.
Editor: Leo Wahyudi & V. Arnila Wulandani