Search
Close this search box.
EcoStory

Saatnya Pemuda Bertindak untuk Perubahan

Bagikan Tulisan
Alfa Ahoren, salah satu alumni School of Eco Diplomacy yang diselenggarakan oleh Yayasan EcoNusa pada 2018. (Yayasan EcoNusa/I Gusti Ayu Azarine Kyla Arinta)

Alfa Ahoren (24) adalah salah satu anak muda asal Manokwari, Papua Barat. Ia akrab dipanggil Alfa. Ketertarikannya dengan isu lingkungan membuatnya terpilih menjadi salah satu peserta pelatihan School of Eco Diplomacy (SED) pada tahun 2018 silam yang dilakukan oleh Yayasan EcoNusa di Jakarta dan Papua Barat. Saat ini Ia aktif dalam kegiatan-kegiatan lingkungan pasca pelatihan SED. Salah satu yang dilakukan adalah gerakan sosial cinta lingkungan. Gerakan mengajak anak muda dan komunitas untuk dapat terlibat dalam aksi pembersihan lingkungan.

Alfa berkesempatan untuk berbicara secara virtual dengan Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam acara diskusi webinar bertajuk “Bincang Generasi Millenial Cinta Hutan dan Lingkungan” pada 21 Juni 2020. Berikut adalah tulisan yang dibuatnya untuk menginspirasi generasi muda agar peduli lingkungan:

“Hai milenial, saya ingin menyapa kalian semua. Semoga sehat selalu dalam masa pandemik Covid-19 ini. Pada kesempatan kali ini, perkenalkan nama saya Alfa Ahoren dari Manokwari, Papua Barat. Saya adalah alumni angkatan pertama dari School of Eco Diplomacy (SED) 2018. Saya ingin membagikan pengalaman saya ketika saya diberi kesempatan dan diundang langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ibu Siti Nurbaya. Suatu kebanggaan bagi saya anak milenial dari timur Indonesia ikut bersama dengan 39 peserta lainnya dari anak SD, SMP, SMA, dan anak-anak milenial lainya. Mereka adalah orang-orang berani dan hebat yang juga berbagi tentang pengalaman dan cerita-cerita uniknya dalam menjaga dan mencintai hutan dan lingkungan dalam acara ngobrol bareng Ibu Menteri.

Pada kesempatan yang luar biasa tersebut, masing-masing peserta diberi kesempatan selama 2 menit untuk bercerita di depan Ibu Menteri KLHK beserta seluruh jajarannya. Saya diminta untuk menceritakan pengalaman saya ketika menjadi salah satu peserta di Paviliun Indonesia di COP24 UNFCCC Katowice, Polandia pada 2018. Saya katakan kepada Ibu Menteri bahwa itu merupakan peristiwa berharga, karena  saya, anak milenial dari Papua, bisa diberi kesempatan tampil di Paviliun Indonesia dan bercerita tentang hutan Papua di level internasional di hadapan para aktivis hebat dan peserta COP24 dari sekitar 190 negara di dunia.

Saya bangga menceritakan hutan Papua yang masih asri dan alami dan menjadikan posisi Indonesia berada pada urutan ke-3 di dunia karena luas hutannya setelah Brazil dan Afrika. Hutan di Tanah Papua merupakan rumah bagi keanekaragaman hayati flora dan fauna. Hutan juga sangat berarti bagi masyarakat adat Papua. Bagi orang Papua, “Forest is our mother”. Hutan adalah mama kami, karena ada hutan, maka ada kehidupan. Keyakinan ini berangkat dari kehidupan masyarakat adat di Papua yang selalu hidup berdampingan dengan hutan. Hutanlah yang setiap hari memberikan kontribusi bagi kehidupan dan ekonomi orang Papua.  “Kalau ko diam, kitong punah” Ayo jaga hutan! Itulah pesan saya dalam acara itu.

Saya juga bercerita tentang bagaimana saya mengikuti kegiatan side event  di COP 24 dan bertemu dengan banyak orang dengan cerita-cerita unik terkait isu-isu perubahan iklim yang sangat beragam. Saya juga ikut aksi kampanye di jalanan bersama peserta COP24 dengan membawa pesan-pesan untuk Bumi dengan bahasa atau dialek Papua. Misalnya:

“Kalo ko diam, kitong punah”

“Hutan adalah payung dunia”

“Hutan itu kitong punya mama. Ada mama, ada kehidupan”

“Kalau ko jaga hutan, ko andalan”

“Hutan itu sumber mata air. Kalau hutan rusak akan menjadi sumber air mata.”

Saya tak mau kalah semangat dengan para peserta COP24 lainya. Pesan-pesan ini juga saya serukan di jalanan bersama banyaknya pesan-pesan lainnya yang terkait dengan isu-isu perubahan iklim yang sangat beragam. 

Saya juga menyampaikan tentang aksi yang saat ini saya lakukan untuk menjaga dan menyelamatkan bumi. Aksi tersebut untuk membangun kesadaran anak muda di tempat saya tinggal. Tentunya ini bukan hal yang mudah. Saya melakukan sosialisasi dan diskusi terkait masalah pencemaran sampah dan kerusakan lingkungan dan hutan, gerakan literasi lingkungan melalui rumah baca. Saya juga mengajak anak-anak muda di komunitas untuk melakukan aksi bersih-bersih pantai, taman wisata alam, dan aksi menanam pohon. Apa yang saya lakukan ini mungkin hal kecil. Namun harapan saya, dari aksi-aksi yang saya buat saya ingin melakukan perubahan yang  dimulai dari lingkungan terdekat yang kita bisa jangkau. Kalau sudah, perubahan itu akan menyebar luas ke lingkungan yang lebih besar. Ini seperti efek bola salju.

Akhirnya, saya ingin memberi pesan bahwa pemuda adalah agen perubahan dan penerus bangsa. Merekalah yang mampu mengubah wajah peradaban. Inilah saatnya untuk bergerak  dan bertindak demi perubahan. Bumi kita membutuhkan semangat anak muda untuk saling bergerak demi perubahan bagi bumi kita. Kita ingin menyelamatkan bumi kita dari ancaman perubahan iklim.”

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved