Matahari baru saja naik pagi itu, Mama Linda sudah terlihat bersiap dengan sebuah parteng (baskom). Sebelum pergi meninggalkan rumah, Mama Linda memastikan makan siang sudah tersaji di meja makan, untuk anak-anaknya sarapan sebelum berangkat ke sekolah.
Mama Linda adalah salah satu dari puluhan jibu-jibu di Negeri Latuhalat, Kota Ambon. Ia bersama puluhan perempuan lainnya setiap hari mendatangi pantai dan menunggu nelayan datang membawa ikan. Jibu-jibu adalah sebutan di Maluku untuk perempuan yang berjualan ikan. Mereka berkumpul dan menunggu untuk membeli ikan hasil tangkapan nelayan di pinggir pantai setiap pagi.
Uniknya, mereka biasa membawa parteng yang nantinya akan diisi dengan ikan. Para jibu-jibu lalu meletakkan baskom penuh ikan itu di kepala untuk dibawa ke pasar atau dijajakan dari kampung ke kampung. Padahal, satu baskom ikan bisa mencapai berat hingga belasan kilo.
Matahari baru saja naik pagi itu, Mama Linda sudah terlihat bersiap dengan sebuah parteng (baskom). Sebelum pergi meninggalkan rumah, Mama Linda memastikan makan siang sudah tersaji di meja makan, untuk anak-anaknya sarapan sebelum berangkat ke sekolah.
Mama Linda adalah salah satu dari puluhan jibu-jibu di Negeri Latuhalat, Kota Ambon. Ia bersama puluhan perempuan lainnya setiap hari mendatangi pantai dan menunggu nelayan datang membawa ikan. Jibu-jibu adalah sebutan di Maluku untuk perempuan yang berjualan ikan. Mereka berkumpul dan menunggu untuk membeli ikan hasil tangkapan nelayan di pinggir pantai setiap pagi.
Uniknya, mereka biasa membawa parteng yang nantinya akan diisi dengan ikan. Para jibu-jibu lalu meletakkan baskom penuh ikan itu di kepala untuk dibawa ke pasar atau dijajakan dari kampung ke kampung. Padahal, satu baskom ikan bisa mencapai berat hingga belasan kilo.
“Su biasa keko ikan bagini kalau di sini. Supaya lebih banyak tampung ikan, jadi seng bolak balik lai (Di sini sudah biasa membawa ikan di atas kepala seperti ini. Supaya ikan yang ditampung banyak dan tidak bolak-balik),” kata Mama Linda.
Mama Linda bercerita, menjalani profesi sebagai jibu-jibu sejak 10 tahun lalu, ia menyadari pentingnya peran laut bagi kehidupan masyarakat pesisir. Berkat profesi jibu-jibu ini, Mama Linda bisa menyekolahkan tiga orang putranya. Bahkan yang tertua berhasil masuk universitas ternama di Ambon.
“Mama rasa laut sudah banyak kase par katong samua. Di sini, banyak keluarga yang jadi jibu-jibu dan menggantungkan hidup ka laut. Dari laut ini katong samua bisa kase sakolah anak-anak (Mama merasa laut sudah memberikan banyak untuk kita semua. Di sini banyak keluarga yang jadi jibu-jibu dan menggantungkan hidup ke laut. Dari laut kita semua bisa menyekolahkan anak-anak),” kata Mama Linda.
Hal yang sama disampaikan Mama Jek, jibu-jibu asal Negeri Tial, Maluku Tengah. Mama Jek mengatakan, menjaga laut dengan tidak menangkap secara berlebihan adalah salah satu cara berterima kasih ke alam.
“Katong dari kecil su diajarkan par ambel secukupnya. Nanti alam akan kase lebi banyak lai. Sampai sekarang begitu. Kami hanya ambil secukupnya untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Seng serakah to. (Kita dari kecil sudah diajarkan mengambil secukupnya, Nanti alam akan beri lebih banyak lagi. Sampai sekarang begitu. Kami hanya ambil secukupnya untuk membiayai kehidupan sehari-hari),” kata Mama Jek.
Jibu-jibu adalah contoh nyata bagaimana alam dan manusia bisa menjalin relasi yang harmonis dan romantis. Mereka mengajarkan kita bahwa menjaga keseimbangan alam adalah kunci untuk kehidupan yang berkelanjutan.
Dengan semangat dan dedikasi, para jibu-jibu ini tak hanya menopang keluarga mereka, tetapi juga menunjukkan bahwa cinta dan rasa syukur kepada alam dapat membawa berkah yang tak ternilai.