Kota Manokwari, Provinsi Papua Barat, menyimpan banyak keindahan alam. Bergerak ke utara dari Bandara Rendani, mata wisatawan akan dimanjakan hijaunya pepohonan di hutan Gunung Meja. Sedangkan bila ke selatan, ada banyak wisata bahari yang dapat dijumpai. Ibu Kota Papua Barat ini punya empat pulau yang sangat indah, Pulau Mansinam, Lemon, Kaki, dan Raimuti. Sebagai salah satu pulau tak berpenghuni, Pulau Raimuti seiring waktu terus terdegradasi dan terancam tenggelam.
Pulau Raimuti terletak di wilayah administrasi Distrik Manokwari Selatan. Letaknya yang dekat dengan daratan membuat Raimuti kerap dikunjungi masyarakat. Jarak dari daratan ke Pulau Raimuti sekitar 500 meter. Untuk menjejakkan kaki di sana, wisatawan dapat menyewa perahu dengan harga sekitar Rp50-150 ribu. Tak jarang wisatawan menggunakan kano dan berenang ke Raimuti. Selain itu, di kedua sisi Raimuiti terdapat gugusan karang yang mengarah ke daratan Kelurahan Arfai dan ke Kampung Andal.
Baca juga: Kapok Pakai Bom Ikan
Dahulu, Pulau Raimuti termasuk pulau besar yang dihuni oleh penduduk. Namun, lebih dari setengah luas pulau telah tenggelam dan membuat masyarakat memutuskan untuk pindah menyebar di pesisir pantai Kota Manokwari. Hal ini terjadi akibat sapuan gelombang tsunami. Sekitar 26 tahun yang lalu, tepatnya pada 17 Februari 1996, gempa bumi berkekuatan besar disertai tsunami terjadi di Biak, Irian Jaya.
Menurut Katalog Gempa Bumi Siginifikan dan Merusak 1821-2018 (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, 2019), gempa yang terjadi di Biak memiliki kekuatan Magnitudo 8,1 dengan kedalaman 33 kilometer. Selain Biak, gempa dirasakan hingga Supiori, Manokwari, dan Sarmi. Gempa pertama diikuti dua gempa susulan dengan kekuatan besar pada hari yang sama, yakni magnitudo 6,5 dengan kedalaman 19 kilometer dan magnitudo 6,4 dengan kedalaman 32 kilometer.
Gelombang tsunami mencapai 7 meter di sejumlah tempat. BMKG mencatat ada 108 orang meninggal dunia, 423 orang luka-luka, dan 58 orang dinyatakan hilang. Sementara dari bangunan fisik, sekitar 5.043 rumah hancur atau rusak di sekitar pusat gempa. Menurut Laboratorium Seismotektonik Jurusan Geofisika dan Meteorologi Institut Teknologi Bandung, tsunami di Biak merupakan fenomena baru. Sejak 1900-1995 tsunami tidak pernah terjadi.
Baca juga: Papua, Maluku, Torang Bisa, Barang Apa Jadi
Selain gempa dan gelombang tsunami, ketergantungan masyarakat terhadap alam membuat ekosistem di sekitar Raimuti terdegradasi. Meski tak lagi menetap di Raimuti, masyarakat kerap datang kembali melakukan berbagai aktivitas, termasuk sebagai tempat wisata keluarga dan tempat persinggahan. Dalam satu dekade terakhir, Raimuti menjadi salah satu tempat wisata bagi wisatawan lokal. Sayangnya, masyarakat juga menebang sebagian pohon untuk kayu bakar dan sampah dibuang di sembarang tempat. Di beberapa titik, terumbu karang sudah tidak bisa lagi hidup karena arus laut dan gelombang yang sangat kuat.
Luas Pulau Raimuti pada 2021 mencapai 150 meter persegi, atau menyusut dari luas awalnya 200 meter persegi. Luas pulau akan semakin mengecil akibat abrasi, sementara ekosistem mangrove telah terdegradasi. Hanya ada beberapa pohon besar dan sedikit tanaman perdu. Tinggal menunggu waktu hingga Raimuti benar-benar tenggelam. Sebuah penelitian yang terbit di jurnal Nature Climate Change edisi Agustus 2021 menyatakan bahwa kenaikan permukaan laut lebih ekstrem akibat meningkatnya suhu bumi.
Baca Juga: Bersama EcoNusa, Kemendikbud Akan Dirikan Sekolah Adat di Malaumkarta
Pemerintah Kabupaten Manokwari harus membuka mata dan melihat serius status Pulau Raimuti hari ini. Pulau kecil tersebut sejatinya merupakan salah satu aset kabupaten yang perlu dilindungi. Hari ini Raimuti masih bisa bertahan karena adanya ekosistem mangrove yang menopang pulau. Pemerintah tidak bisa tinggal diam. Harus ada langkah cepat dan strategis untuk menyelamatkan Raimuti. Mari bergandengan tangan. Bangkitkan semangat lestari dan satukan langkah untuk menyelamatkan Pulau Raimuti.
Editor: Leo Wahyudi