Jutaan umat Islam di Indonesia, bahkan dunia, melaksanakan puasa di bulan Ramadan. Selama belasan jam, seseorang dilatih untuk mengendalikan kebutuhan dan keinginan jasmani maupun rohaninya. Di atas kertas, puasa akan menurunkan konsumsi bahan makanan.
Puasa tak hanya dilakukan oleh umat Islam. Global Catholic Climate Movement (GCCM) misalnya, mengajak pemeluk agama Katolik untuk berpuasa sebagai aksi untuk mengatasi perubahan iklim. GCCM mengajak umat Katolik untuk puasa memakan daging pada hari Jumat untuk mengurangi permintaan daging ke industri peternakan yang menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca (metana) ke atmosfer.
Baca juga: Sampah, Perhatian Utama Kewang Muda Maluku
Inisiasi puasa sebagai aksi perubahan iklim juga didengungkan oleh Interfaith Summit on Climate Change melalui aksi Fast for Climate. Ribuan pemuda lintas agama, tokoh agama, dan pecinta lingkungan berpuasa sekali dalam sebulan sebagai aksi solidaritas terhadap korban perubahan iklim, latihan spiritual, dan seruan kepada pemimpin dunia untuk bergerak cepat mengatasi perubahan iklim.
Puasa dimulai sejak subuh hingga terbenamnya matahari. Karena terhentinya asupan energi yang diperoleh tubuh selama belasan jam, metabolisme tubuh bekerja dengan skema yang berbeda. Puasa mendorong sel darah putih terpecah yang mengakibatkan peningkatan kekebalan tubuh. Regenerasi sel juga berlangsung relatif lebih cepat.
Ilmuwan Belgia, Christian de Duve, memperkenalkan istilah autofagi (autophagy) pada pertengahan 1960 untuk menjelaskan proses percepatan regenerasi sel. Sel mati beserta protein yang tak berguna dimasukkan ke dalam “karung sel” untuk dihancurkan. Sel mati inilah yang menyebabkan mudahnya seseorang terserang penyakit, keriput di wajah, dan penuaan. Temuan ini menghantarkan Duve meraih penghargaan nobel bidang kedokteran pada 1974.
Baca juga: Pendekatan Yurisdiksi dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berkelanjutan
Kegembiraan menjelang berbuka puasa mendorong banyak orang merayakannya dengan berbagai jenis makanan. Hampir mustahil menemukan satu menu makanan saat berbuka puasa. Kegembiraan tersebut bahkan terjadi sebelum bulan Ramadan dengan meningkatnya permintaan pangan yang mengakibatkan kenaikan harga pangan.
Peningkatan permintaan pangan diiringi dengan peningkatan jumlah sampah yang masuk ke tempat pembuangan akhir. Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan, dan Keindahan Kota Banda Aceh mencatat terjadi peningkatan volume sampah 18-20 ton/hari atau dari 238 ton/hari menjadi 256 ton/hari. Kondisi serupa juga terjadi di Kota Bandar Lampung, Jakarta, dan kota-kota besar lainnya.
Peningkatan konsumsi akan mendorong peningkatan jumlah limbah sisa makanan (food waste). Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menempatkan Indonesia berada pada urutan kedua negara penghasil limbah sisa makanan dengan 300 kg/tahun/orang. Urutan pertama ditempati Arab Saudi dengan 427 kg/tahun/orang. Peningkatan konsumsi ini dalam artian tertentu berbanding lurus dengan peningkatan risiko kerusakan lingkungan.
Baca juga: Melindungi Hutan, Menyelamatkan Manusia
Bulan Ramadan sejatinya menjadi momen untuk melatih diri belajar menerapkan gaya hidup minimalis. Keputusan untuk mengonsumsi barang didasarkan pada kebutuhan yang benar-benar mendesak. Selain itu, dalam Islam, manusia diutus ke bumi untuk menjadi khalifah atau memimpin, yang salah satu tugasnya menjaga kelestarian bumi. Ini termasuk upaya untuk mengurangi konsumsi berlebih yang pada ujungnya mengurangi daya dukung bumi.
Puasa dapat dijadikan momentum pengingat bahwa perubahan iklim itu nyata dan sedang terjadi. Karena itu, Paus Fransiskus pada 2020 menyerukan pertobatan ekologis agar umat manusia lebih mencintai dan menjaga kelestarian alam semesta. Puasa ekologis dapat menjadi ajakan semua penduduk bumi untuk berhenti menggunakan hal-hal yang merusak lingkungan yang menyebabkan perubahan iklim bumi.
Editor: Leo Wahyudi