Search
Close this search box.
EcoStory

Puasa Plastik di Bulan Ramadan

Bagikan Tulisan
Diskusi daring bertajuk “Green Ramadan untuk Menjaga Laut Lebih Sehat” 

Bulan Ramadan dapat menjadi momentum untuk ikut berperan merawat Bumi. Salah satu caranya adalah “puasa” menggunakan plastik sekali pakai. Terlebih dalam masa swakarantina akibat pandemi COVID-19, mengolah sendiri bahan makanan untuk berbuka puasa dan santap sahur menjadi sisi postif yang dapat dikembangkan menjadi gaya hidup baru.

Green Ramadan merupakan kesempatan bagi kita untuk mengingat dan mengapresiasi Bumi sebagai ciptaan Allah yang telah menyediakan beragam kebutuhan bagi kehidupan kita,” kata Lita Hendratno, finalis Miss Indonesia 2018, dalam diskusi daring dari bertajuk “Green Ramadan untuk Menjaga Laut Lebih Sehat” yang diselenggarakan oleh Yayasan EcoNusa pada 28 April 2020.

Menurut Lita, “puasa” plastik dapat dilaksanakan dengan berbagai macam cara yang mudah dilakukan. Jika berbuka puasa atau santap sahur di luar rumah, gunakanlah alat makan yang dapat dipakai berulang kali. Dengan demikian, penggunaan stirofoam dan botol plastik kemasan dapat dihindari sehingga tidak ikut menyumbang sampah baru.

“(Anggap saja) rata-rata satu orang menggunakan 700 kantong plastik per tahun. Bila diakumulasikan dengan jumlah penduduk Indonesia, maka akan ada 9,85 miliar kantong plastik sekali pakai yang berakhir menjadi sampah,” ujar Lita.

Sampah plastik telah menjadi perhatian dunia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jenna Jambeck (2015) menunjukkan bahwa Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara penghasil sampah plastik ke laut. Pada 2019, sampah laut Indonesia mencapai 1,2 juta ton. Dari jumlah tersebut 80 persen diantaranya sampah plastik berasal dari daratan yang mengalir ke sungai dan berakhir di laut.

Keberadaan sampah plastik di laut tak hanya merusak estetika. Habitat biota laut seperti terumbu karang dan padang lamun rusak. Kematian sejumlah biota laut akibat sampah yang menumpuk di perut mereka menjadi berita viral tahun lalu. Keberadaan sampah laut bahkan ikut mengganggu jalur transportasi laut.

Sebagai negara kepulauan, Bank Dunia menyebut 87 kota pesisir di Indonesia berkontribusi terhadap 2 juta ron sampah plastik di laut pada 2018. “Jika masyarakat Indonesa tidak melakukan upaya pengurangan konsumsi plastik sekali pakai, diramalkan tahun 2030 akan ada lebih banyak plastik daripada ikan di perairan Indonesia,” kata Direktur Yayasan Konservasi Laut, Nirwan Dessibali.

Kondisi tersebut akan bertahan lama mengingat plastik memiliki usia sangat panjang agar dapat terurai alami. Sampah tersebut akan berubah menjadi ukuran kecil yang disebut dengan mikroplastik dan berisiko masuk ke tubuh manusia. Banyak penelitian yang mendapati mikroplastik di perairan Indonesia. Mikroplastik juga ditemukan di tubuh ikan, garam, kerang, dan padang lamun.

“Salah satu kunci untuk untuk menyelesaikan ini ada pada pemuda. Mereka memiliki potensi besar. Beberapa waktu lalu kami membersihkan Pantai Tanjung Bayang dan berhasil mengumpulkan 1,4 ton sampah. Bahkan kami ajak anak TK untuk mengenal laut agar mereka mencintai lingkungan,” papar Nirwan.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota, Makassar Iskandar, menyatakan bahwa permasalahan sampah plasstik tak bisa diselesaikan sendiri. Menurutnya semua elemen harus ikut bergandengan tangan. Menyadari hal itu, Pemerintah Kota Makassar membuat Peraturan Wali Kota Nomor 70 Tahun 2019 tentang Pengendalian Penggunaan Kantong Plastik. Pemkot Makassar juga membentuk Unit Pelayanan Teknis (UPT) Bank Sampah Kota Makassar. Saat ini lebih dari 500 bank sampak tersebar di seluruh Kota Makassar.

“Kota Makassar salah satu kota yang punya bank sampah di Indonesia. Sudah ada vendor yang menjadi langganan kami melalui UPT,” kata Iskandar.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved