Pengurangan emisi gas rumah kaca dan langkah adaptif dalam menghadapi efek perubahan iklim merupakan bentuk sinergi antara kebijakan pemerintah dan partisipasi masyarakat. Perubahan iklim sebagai konsekuensi pemanasan global tak bisa disikapi secara parsial. Pemahaman dan keterlibatan langsung menjadi kunci menghadapi perubahan iklim, terutama bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat serta masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sri Tantri Arundhati, mengatakan bahwa Program Kampung Iklim (Proklim) yang dikelola oleh KLHK mengusung prinsip kemitraan bersama masyarakat. Proklim berada di wilayah adminstratif berskala kecil seperti rukun warga, dusun, atau setingkat desa yang telah melakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara berkesinambungan.
“Proklim bertujuan memberikan edukasi bagi masyarakat apa yang bisa dilakukan untuk bertahan dari perubahan iklim, serta membantu pemerintah mengurangi efek perubahan iklim,” kata Sri dalam diskusi daring yang diadakan oleh Yayasan EcoNusa bertajuk “Membangun Program Kampung Iklim di Tanah Papua” pada Kamis 23 April 2020.
Sebelum mendaftarkan diri menjadi daerah Proklim, kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim diharuskan telah berjalan selama dua tahun. Selain itu, kelompok masyarakat yang mendukung aksi serupa telah terbentuk dan mendapat dukungan kelembagaan yang berkelanjutan. “Karena kami tidak ingin ini hanya sebagai proyek. Kami ingin Proklim sebagai program yang berkelanjutan,” ujar Sri.
Sejak 2012 hingga saat ini, terdapat 2.146 kampung iklim di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut tersebar di 248 kecamatan di 29 provinsi. Mayoritas Proklim berada di Pulau Sumatra dan Jawa. Tanah Papua sebagai pulau dengan hutan primer terluas dan keanekaragaman hayati yang menjulang tercatat hanya memiliki 21 Proklim.
Program Manager Yayasan INTSIA, Yoseph Watopa, menuturkan bahwa komponen Proklim serupa dengan budaya dan gaya hidup masyarakat adat di Tanah Papua. Menurut Yoseph, meski tak tercatat dalam sistem registrasi nasional pengendalian perubahan iklim, masyarakat adat telah jauh lebih dulu menerapkan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Yoseph mencontohkan praktik yang telah ditempuh oleh masyarakat adat di Kabupaten Mamberamo, Papua. Menurut Yoseph, terkait adaptasi kekeringan, masyarakat adat menerapkan aturan untuk tidak menebang pohon di sekitar sumber air. Ini terjadi di Kampung Kwerba, Marinavalen, dan Marumare. Untuk menjaga ketahanan pangan, masyarakat membuat kebun multikultur dengan menanam pisang, kakao, singkong, dan pinang.
Selain itu, masyarakat adat menerapkan pengelolaan budidaya pertanian organik sebagai bagian dari proses mitigasi. Kemudian, reboisasi lahan bekas pertambangan juga dilakukan di Kampung Kerema dan Benuki dengan penanaman kakao organik. “Sosialisasi Proklim masih kurang. Namun adaptasi dan mitigasi perubahan iklim telah dipraktikkan masyarakat adat. Untuk itu aktivitas tersebut perlu diorganisir dan menjadi program kampung,” papar Yoseph.
Pengelolaan langkah adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim penting diterapkan di Tanah Papua. Perubahan iklim tak hanya berimbas kepada masyarkat adat, melainkan juga kekayaan hayati yang terkandung di hutan dan laut di Tanah Papua. Tanpa langkah partisipatif dari semua pemangku kebijakan, kehilangan beragam spesies hanya menunggu waktu.
Hasil penelitian berjudul Climate Change Threatens New Guinea’s Biocultural Heritage memprediksi kerugian yang dialami Tanah Papua akibat perubahan iklim. Penelitan yang telah diterbitkan di Science Advance pada November 2019 itu menggunakan data pemodelan hingga 2070. Para peneliti memprediksi kepunahan 94 spesies tanaman endemik per wilayah bahasa dari 1.030 wilayah bahasa di Pulau New Guinea.
Charlie D. Heatubun, salah satu penulis penelitian, mengatakan bahwa terdapat 14 wilayah yang menjadi prioritas perlindungan terhadap perubahan iklim. Tanpa perlindungan, kepunahan tanaman endemik juga dapat mengakibatkan hilangnya kosakata bahasa lokal.
“Kalau skenario terburuk itu muncul dan kita tidak bisa antisipasi itu dengan baik, banyak spesies tumbuhan kita punah. Pada saat itu juga, pengetahuan lokal, nama lokal akan ikut hilang,” kata Charlie yang juga menjabat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Baitbangda) Provinsi Papua Barat.
Editor: Leo Wahyudi