Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Pembiayaan Ekonomi Biru, Sebuah Keniscayaan

Bagikan Tulisan

Ekonomi biru berpotensi untuk memberikan transformasi dan diversifikasi ekonomi Indonesia. Ekonomi biru juga memberikan solusi terhadap dampak perubahan iklim di sektor kelautan melalui pembangunan kelautan rendah karbon, wisata laut berkelanjutan, dan pengembangan energi laut. Dalam konteks transformasi ekonomi di Indonesia, ekonomi biru mencakup pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya non daratan (non terrestrial) dalam kerangka ekonomi hijau. Hal ini disebutkan dengan jelas dalam Kerangka Kerja Pembangunan Ekonomi Biru dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 

Ekonomi biru didefinisikan sebagai pemanfaatan sumber daya kelautan secara berkelanjutan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penghidupan, dan lapangan kerja sambil tetap menjaga kesehatan ekosistem laut. “Seperti kita ketahui, pembangunan ekonomi biru masih relatif baru di Indonesia,” kata Gellwynn Daniel Hamzah Jusuf, Perencana Senior Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas, dalam webinar “Sustainable Blue Financing” pada 30 Agustus 2022.

Sayangnya, lanjut Gellwynn, kontribusi ekonomi biru terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dalam lima tahun terakhir masih rendah jika dibandingkan sektor lain. Kontribusinya hanya sekitar 3,6 persen yang sebagian besar berasal dari sektor perikanan. 

Baca Juga: Sagu, Tanaman Sejuta Manfaat yang Terancam oleh Pembangunan

Selain itu, skema pendanaan ekonomi biru di Indonesia juga masih kurang sumber daya. Akibatnya, investasi untuk kelautan tetap rendah dibanding investasi daratan. Hal ini seturut dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 14, Kehidupan bawah Air, yang memperoleh investasi paling kecil dibandingkan tujuan-tujuan lain dalam SDG.

Membangun ekonomi kelautan yang berkelanjutan di Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dengan dua per tiga wilayah lautan menjadi hal penting. “Ekonomi laut yang sejahtera dan berkelanjutan dapat memberikan kontribusi yang lebih tinggi melalui aktivitas konservasi,” lanjut Gellwynn menggarisbawahi visi Bappenas 2019 bahwa ekonomi biru dapat memberikan kontribusi 12,5 persen terhadap PDB pada 2045.

Untuk mengembangkan ekonomi biru, pemerintah berencana menerbitkan Obligasi/Sukuk Biru dan Hijau (Green Securities) serta Obligasi/Sukuk Sosial dan Berkelanjutan (SDGs Securities) untuk mendanai proyek-proyek yang memberikan manfaat terhadap lingkungan dan sosial sebagai capaian agenda pembangunan 2030. 

Baca Juga: Potensi Tuna Indonesia dan Nasib Nelayan Huhate

Obligasi hijau adalah instrumen pembiayaan yang dirancang untuk mendukung proyek yang ramah lingkungan atau terkait iklim. Fokusnya lebih pada program dan kegiatan yang akan mengurangi risiko-risiko kerusakan lingkungan daratan.  Penerbitan obligasi/sukuk hijau merupakan inovasi pendanaan inovatif di Indonesia yang bahkan oleh Deni Ridwan, Direktur Surat Utang Negara di Kementerian Keuangan, yang menjadi penanggap diskusi, disebut sebagai yang pertama di dunia. 

Selain obligasi/sukuk hijau, ke depan dimungkinkan untuk penerbitan obligasi tematik seperti obligasi/sukuk biru. Semua tergantung kesiapan para pemangku kepentingan terhadap proyek-proyek biru. “Obligasi/sukuk biru sangat dimungkinkan ke depan meskipun perlu upaya dan biaya yang besar,” kata Deni. 

Sektor-sektor berbasis kelautan seperti pariwisata, perdagangan, transportasi, dan logistik juga menjadi bagian penting dalam ekonomi biru. Sektor tersebut mendukung pembangunan ekonomi lokal dan penyediaan lapangan kerja di pulau-pulau kecil dan terluar sehingga menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di banyak wilayah di Indonesia.

Baca Juga: Lulusan SD Jadi Inisiator Kemandirian Negeri

Lebih dari semua hal tersebut, Ingela Isaksson, Analis Senior, Koordinator Kerja Sama Bilateral Bidang Lingkungan dan Iklim, Swedish Agency for Marine and Water Management, mengatakan bahwa laut yang sehat adalah dasar dari ekonomi biru yang sehat. Apalagi saat ini perubahan iklim sudah dan akan memberikan tekanan terhadap ekosistem laut yang kualitasnya makin terdegradasi. 

“Kita harus membangun kembali dengan lebih baik melalui ekonomi biru dan hijau. Pada saat bersamaan, pandemi juga telah menunjukkan kapasitas dan kekuatan untuk bekerja bersama dan secepat apa kita dapat mengubah perilaku,” kata Ingela. 

Menurut Ingela, ekonomi biru lebih kaya jika laut memiliki jasa ekosistem yang berfungsi dengan baik dan memiliki produksi yang tinggi. Ia juga menekankan pentingnya perencanaan tata ruang laut yang mengalokasikan sumber daya sekaligus memberi ruang untuk pembangunan biru yang berkelanjutan. Keadilan sosial dan pemerataan harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam agenda perencanaan tersebut. “Harus dipastikan bahwa tak seorang pun diabaikan,” tandas Ingela. 

Webinar ini diselenggarakan berkat kerja sama Bappenas bersama United Nations Indonesia, Badan Dunia Urusan Lingkungan (UNEP), Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), ARISE Indonesia, Swedish Agency for Marine and Water Management (SWAM), dan EcoNusa.

Editor: Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved