Search
Close this search box.
EcoStory

Lulusan SD Jadi Inisiator Kemandirian Negeri

Bagikan Tulisan
Noce Rumapasal berdiri di pekarangan rumah pastori gereja tempat ia berkebun. (Yayasan EcoNus/Roberto Yekwam)

Rona Matital membungkuk untuk mencabuti rumput yang tumbuh lebat di kebun yang ia kelola bersama para jemaat gereja di kampungnya. Meski sempat kaget karena melihat banyaknya rumput di lahan tersebut, wajahnya sumringah mendapati tanaman kacang tanah yang dipelihara bersama kawan-kawannya tumbuh tak kalah suburnya. Mama Rona yakin hasil panennya akan sebaik sebelumnya. “Panennya bagus. Katong (kami) dapat 9 karung,” kata mama Rona, Rabu, 18 Mei 2022. 

Di kebun seluas satu hektare tersebut, sekitar 50 mama yang tergabung dalam jemaat gereja di Negeri Manusa, Seram Bagian Barat, Maluku, menanam kacang tanah dan cabai sejak tahun lalu. Itu kali pertama mereka membuat kebun bersama. 

Baca juga: Penutupan STS Morekau, Sesi Berbagi Membangun Negeri

Hasilnya panennya cukup memuaskan. Mereka mendapat sekitar 450 kilogram kacang tanah yang dijual dengan harga Rp3,2 juta, dan 18 kilogram cabai yang dipanen tiga kali dengan harga Rp900 ribu. “Hasilnya dijual ke para jemaat di negeri (kampung),” ujar mama Sherlina Makaruku. 

Adalah Noce Rumahpasal yang menginisiasi kebun tersebut. Pria yang hanya lulus sekolah dasar (SD) itu merupakan salah satu peserta Sekolah Transformasi Sosial (STS) Saka Mese Nusa yang diinisiasi oleh EcoNusa. Program tersebut diselenggarakan di Negeri Morekau, Seram Bagian Barat, Maluku pada 8-25 Februari 2021. Ada tiga pembagian kelas yang diajarkan di kegiatan itu, yaitu kelas budi daya pertanian organik, kelas biogas, dan kelas pengering serbaguna. Noce mengikuti kelas biogas. 

Usai kelas, Noce diam-diam ikut menyalin pelajaran yang masih tercatat di kelas pertanian organik. Sepulang dari STS, ia meminta dukungan kepada pemerintah negeri untuk membuat biogas dan menanam padi. Usulan biogas ditolak lantaran tidak banyak sapi di negeri mereka. “Beta (saya) juga koordinasi dengan pemerintah negeri untuk pembukaan lahan dan membuat kebun padi. Tapi pemerintah tidak punya dana,” katanya.

Baca juga: STS Hanya Permulaan

Noce akhirnya membuat kebun sendiri yang ia tanami dengan cabai. Ia mempraktikkan pembuatan pupuk organik yang diajarkan di kelas pertanian STS. Cabainya tumbuh subur dan berbuah banyak. Hasil panennya ia jual di Kota Gemba. Sekali panen, ia mendapat uang sekitar Rp1 juta. “Uangnya beta pakai untuk biaya sekolah anak, belanja kebutuhan sehari-hari, beli bibit lagi, dan transportasi,” ujarnya. 

Noce dan warga Manusa lainnya mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk biaya transportasi karena keterbatasan akses. Manusa terletak di wilayah pegunungan di tengah-tengah Seram Bagian Barat. Dari kota Gemba, Manusa bisa ditempuh sekitar 3 jam menggunakan ojek dengan biaya Rp200 ribu atau mobil dobel gardan dengan biaya Rp250-300 ribu per orang. 

Hanya ada satu sopir di Gemba yang berani naik ke Manusa karena medan yang cukup berat. Melewati punggung-punggung bukit yang belum diaspal dan banyak jurang, juga sungai yang terkadang banjir sehingga sulit dilewati. Warga Manusa hanya pergi ke kota jika ada keperluan.   

Baca juga: Peserta STS Mogatemin Berjanji Olah Potensi Udang di Kampungnya

Melihat hasil kebun Noce tersebut, masyarakat di kampungnya tergoda, termasuk pendeta. Ia meminta Noce untuk mengorganisir kebun jemaat. Permintaan itu disanggupi oleh Noce. Para mama senang hati dilibatkan dalam kebun bersama ini. 

“Mama lihat Noce pung (punya) kebun bagus. Kalo katong bikin, katong seng (tidak) beli apa-apa lagi di pasar. Katong bisa buat sendiri, bisa tanam sendiri,” kata mama Rona. Biasanya mereka akan sekalian berbelanja sayuran jika ada keperluan turun ke kota.    

Mula-mula, Noce mengajarkan para mama anggota jemaat membuat pupuk organik dengan memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di negeri, seperti jantung pisang, rebung, terasi, air beras, dan gula. Ia lalu meminta pendeta untuk menggerakkan para bapak dan mama untuk membuka lahan. 

Baca juga: Peserta STS Mogatemin: Ini Ilmu yang Sangat Mahal

Tanah yang baru dibuka tersebut disiram dengan pupuk organik buatan Noce dan para mama. Hasilnya kacang tanah dan cabai yang mereka tanam tumbuh dengan subur dan berbuah banyak. 

Sebagian masyarakat yang melihat kualitas tanaman mereka ingin membeli pupuk organik yang mereka buat. Namun Noce menolak. “Kalau jual seng bisa. Tapi kalau ajarkan, beta mau. Beta ingin menghidupi masyarakat,” katanya. 

Masyarakat di Negeri Manusa kini sudah makin akrab dengan pupuk organik yang diajarkan oleh Noce. Mereka juga memanfaatkannya untuk ladang pribadi. Seperti Mama Rona yang menyirami tanaman jagungnya dengan pupuk tersebut. “Hasilnya bagus,” tuturnya. 

Baca juga: “Jangan Cuma Makan, Harus Tahu Tanam Juga”

Noce juga menggunakan pupuk yang sama untuk tanaman vanilinya. Di acara Penutupan STS di Negeri Kamal, ia membagikan pengalaman tersebut ketika sesi evaluasi. “Dulu bunga vanili sedikit, satu di situ, satu di sana saja. Setelah pakai pupuk, bunga su (sudah) banyak, yang su berbuah 300 lebih, yang su siap panen 300 lebih. Sementara yang ada kas (kasih) kawin 600-an, yang baru tunas ada 500 lebih,” ujarnya.

Karena keberhasilan Noce, ia diminta oleh pemerintah kampung untuk mengkoordinir pertanian di negeri mereka. Pemerintah berencana membuka lahan untuk padi ladang, seperti yang diminta Noce pertama kali. Ia berharap setelah bertanam padi tersebut, masyarakat kampung tidak perlu lagi membeli beras. “Mudah-mudahan,” kata Noce.

Editor: Leo Wahyudi & Carmelita Mamonto

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved