Raja Ampat di Provinsi Papua Barat merupakan surga bagi wisatawan. Selain memiliki pemandangan alam yang indah, potensi biodiversitas laut Raja Ampat sangat tinggi. Namun, keterbatasan pengetahuan masyarakat di Raja Ampat ini berdampak pada minimnya pemanfaatan potensi alam di sana. Masyarakat belum menggali lebih jauh potensi yang ada untuk menunjang kehidupan mereka.
Salah satu wilayah yang berpotensi adalah Kampung Manyaifun. Kampung terpencil di Kecamatan Waigeo Barat Kepulauan, Kabupaten Raja Ampat ini memiliki pemandangan alam yang indah, keanekaragaman biologi di dalam lautnya pun tak tertandingi, dan di sana kita dapat menemukan hewan khas perairan Raja Ampat, yaitu ikan Pari Manta.
Ada pula Kampung Friwen dan Yenbeser yang terletak di Kecamatan Waigeo Selatan, yang memiliki hutan mangrove. Yang membedakan hutan mangrove atau bakau wilayah ini dengan di wilayah lain, hutan mangrove di sini memiliki kondisi yang baik dan masih terjaga keasliannya.
Sayangnya, dengan begitu banyak potensi, masyarakat Raja Ampat belum memiliki pengetahuan memadai mengenai potensi wilayahnya sendiri. Kurangnya pengetahuan ini sebagian disebabkan letak wilayah yang terpencil dan belum meratanya perhatian dari berbagai pihak termasuk pemerintah yang lebih banyak berfokus pada pengembangan wisata..
Melihat kondisi ini, Econusa bekerjasama dengan komunitas masyarakat untuk mengadakan pelatihan untuk ikut berkontribusi pada pembangunan Papua Barat.
Kampung Manyaifun
Pertama adalah pelatihan pengelolaan homestay (penginapan) ramah lingkungan bagi Kampung Manyaifun dengan memanfaatkan pohon sagu. “Untuk membuat satu homestay dibutuhkan kurang lebih 50 pohon sagu. Sayangnya, pemanfaatan hutan pohon sagu dalam jumlah banyak ini belum diimbangi dengan penanaman kembali oleh masyarakat,” kata Kris selaku Ketua Asosiasi Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Asli Raja Ampat (Pejampat).
Pelatihan mengelola homestay ini mengenalkan masyarakat tentang standar-standar baku acuan tata kelola homestay, termasuk pentingnya bagi warga yang berbisnis homestay untuk memiliki surat perizinan lingkungan hidup dan melakukan pelestarian lingkungan dan hutan sagu.
Standar-standar yang disosialisasikan, misalnya melakukan pemisahan dan pengelolaan sampah organik dan anorganik, aksi mingguan untuk pembersihan lingkungan, dan penyediaan tempat sampah akhir di kampung.
Ada pula pelatihan produksi cenderamata. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan perekonomian keluarga yang berbasis kehutanan. Dalam pelatihan ini ada dua kelompok kegiatan, pembuatan senat (tikar) dan pembuatan minyak goreng dari kelapa kampung.
Kegiatan ini difokuskan bagi kelompok mama-mama di kampung Manyaifun. Kelompok bapak-bapak sedikit membantu dalam proses pengambilan bahan dasar. Menurut Kori, salah satu pengrajin senat di Manyaifun, ada beberapa kendala yang dihadapi dalam pelatihan ini. Contohnya proses pengambilan bahan. “Tempat pengambilan bahan beragam jaraknya, ada yang dekat bisa dijangkau dengan berjalan kaki, tetapi ada pula yang jauh. Alat yang digunakan pun masih kurang, seperti untuk pengelolaan minyak, mesin parut kelapa, dan lainnya,” tutur Kori saat ditemui di rumahnya.
Masyarakat terlihat antusias mengikuti pelatihan ini. Walaupun proses penanaman hingga pertumbuhan membutuhkan waktu sangat panjang, masyarakat tetap sabar mengikuti setiap prosesnya. Kerja sama yang baik antara pengurus dengan anggota kelompok membuat masyarakat pemilik lahan menjadi senang untuk menanam.
Kampung Friwen dan Yenbeser
Untuk Kampung Friwen dan Yenbeser, diadakan pelatihan pemanfaatan hutan mangrove yang dilaksanakan oleh Perkumpulan Kawan Pesisir Raja Ampat. Mereka bekerja sama dengan Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (JAPESDA) Gorontalo dan Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan untuk melatih masyarakat setempat.
Sebanyak 16 jenis mangrove sejati (menurut Kitamura dkk 2003, mangrove sejati dapat hidup dalam lumpur endapan di wilayah pasang surut dan mampu mengeluarkan kelebihan zat garam dari tubuhnya) dan 29 jenis mangrove asosiasi (mangrove yang mampu beradaptasi terhadap ekosistem tapi tidak sanggup mengeluarkan kelebihan kadar garam dari tubuhnya) yang tersebar di seluruh wilayah kajian dalam batas wilayah dua desa yaitu Friwen dan Yenbeser telah berhasil diidentifikasi bersama masyarakat. Mereka mendapatkan pengetahuan tentang pemetaan jenis dan pemanfaatan buah mangrove dari jenis-jenis mangrove yang teridentifikasi di kampung. Ini adalah pemetaan jenis mangrove pertama yang dihasilkan di Raja Ampat.
Pemetaan jenis hutan mangrove akan menjadi acuan bagi masyarakat, wisatawan, dan pemerintah untuk mengetahui mangrove yang dapat diolah menjadi bahan makanan atau lainnya yang berpotensi memperbaiki perekonomian masyarakat. Lewat pelatihan yang diberikan, masyarakat mendapat pengetahuan mengolah mangrove agar dapat dimanfaatkan menjadi sirup, tepung, stik, kolak, bolu, dodol, lulur, bedak, dan lainnya.
Sebelum ada pelatihan, masyarakat Friwen dan Yenbeser hanya mengambil kayu bakau jenis Rhizophora tegakan muda, dan Ceriops tagal untuk kebutuhan kayu bakar. Kayu bakau tersebut tidak hanya digunakan untuk kebutuhan kayu bakar, tetapi ada beberapa yang dijual ke desa tetangga untuk kebutuhan dasar pembuatan penginapan.
Bahkan banyak masyarakat desa tetangga datang ke kawasan bakau pulau Gam untuk menebang pohon bakauCeriops tagal dan Rhizophora spp di desa Friwen dan Yenbeser untuk kebutuhan kayu bakar.
Hutan bakau di Kabupaten Raja Ampat saat ini memang masih sangat terjaga keasliannya, tapi dikhawatirkan dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan perkembangan pembangunan terutama pembangunan homestay, pembukaan lahan secara masif dapat terjadi tanpa memperhatikan aspek ekologisnya. “Maka, lewat pelatihan ini kami juga melakukan pendampingan secara intensif kepada kelompok masyarakat melalui penguatan kapasitas. Misalnya, pelatihan kader konservasi, pelatihan pengolahan buah mangrove, serta menginisiasi kebijakan di tingkat desa untuk mendorong pembentukan Hutan Desa,” kata Steve selaku Ketua Perkumpulan Kawan Pesisir Raja Ampat