EcoStory

Peduli Lingkungan sebagai Ibadah

Bagikan Tulisan

Dokumen EcoNusa

Akhir Maret lalu saya mengikuti Lokakarya Pembuatan Kerangka Rencana Strategis yang diselenggarakan oleh Interfaith for Rainforest Initiative-Indonesia (IRI Indonesia) di Tamblingan, Bali. IRI adalah aliansi lintas agama internasional yang bertujuan untuk membawa seruan moral dan sumber daya spiritual ke upaya global untuk mengakhiri deforestasi tropis. Ini adalah platform bagi para pemimpin dan komunitas berbasis agama untuk bekerja bergandengan tangan dengan masyarakat adat, pemerintah, masyarakat sipil, dan pelaku bisnis untuk turut aktif dalam melindungi hutan hujan dan melindungi mereka yang telah menjaga alam. 

Di Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia, IRI atau Prakarsa Lintas Agama untuk Hutan Tropis ini secara resmi diluncurkan pada akhir Januari 2020. Lebih dari 250 pemimpin agama berkumpul bersama dengan masyarakat adat, LSM, ilmuwan, pemerintah, serta PBB di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta yang berkomitmen untuk melindungi hutan hujan tropis terbesar ketiga di planet ini. Peluncuran ini mendapat dukungan kuat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah. Hadir pula para tokoh agama Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu, serta Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Melihat prakarsa kaum agamawan ini saya kini merasa tidak sendiri dalam memperjuangkan lingkungan, terutama di wilayah timur Indonesia. Semua elemen kini terus bergerak ketika krisis iklim sudah semakin berdampak terhadap segala sendi kehidupan. Perjuangan itu pun terus berjalan. 

Paus Fransiskus menyerukan bahwa kepedulian terhadap lingkungan bukan untuk memuaskan rasa keingintahuan, tetapi untuk semakin menyadarkan bahwa apa yang terjadi di dunia saat ini merupakan penderitaan setiap orang yang harus dicari solusinya. Kehancuran lingkungan dipicu oleh kemiskinan global, ketidakadilan, dan budaya konsumtif. Alam hanya dianggap sebagai pemuas konsumsi sesaat. Karena itu harus dicari solusi melalui apa yang bisa kita lakukan, sekecil apa pun itu. 

Bulan suci Ramadan tahun ini juga menjadi momentum berharga untuk terus menjalankan komitmen dan kepedulian terhadap penyelamatan sumber daya hutan dan laut yang kian terancam. Saya terkesan dengan tulisan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada 2006 yang mengatakan bahwa jalinan antara kesejahteraan dan keadilan adalah bagian dari ajaran Islam yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Namun keadilan dan kesejahteraan itu tidak tercapai. Padahal Indonesia memiliki tiga sumber alam yang luar biasa, yaitu hutan yang lebat, kekayaan tambang, dan kekayaan laut yang kini banyak dicuri orang. Menurut Gus Dur, kegagalan mencapai kesejahteraan dan keadilan itu karena kebijakan ekonomi dan peraturan lebih banyak condong pada kepentingan orang kaya, bukan kepentingan rakyat banyak. 

Terlepas dari kritik Gus Dur tersebut, saya sedikit merasa lega. Pasalnya, baru-baru ini Pemerintah Provinsi Papua Barat mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 25/2021 tentang Tata Cara Penetapan Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat. Dengan kebijakan tersebut, kabupaten/kota di Papua Barat tidak perlu lagi membuat aturan tentang tata cara pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Bupati/walikota bisa langsung membentuk panitia masyarakat adat. Dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat itu, ada harapan bahwa keadilan dan kesejahteraan masyarakat adat akan terwujud. 

Melihat prakarsa lintas agama, pernyataan Paus Fransiskus, dan Gus Dur tersebut, saya semakin yakin bahwa kita harus terus bergerak dan menggerakkan semakin banyak orang dan pembuat kebijakan untuk terlibat dalam penyelamatan lingkungan. Dari pertemuan di Bali tersebut ada gagasan sederhana yang melibatkan rumah ibadah. Di Indonesia, menurut IRI, negeri yang religius ini memiliki 741.991 masjid, 12.473 gereja Katolik, 43.909 gereja Kristen Protestan, 7.129 vihara Budha, dan 24.431 pura Hindu. 

Dengan besarnya jumlah rumah ibadah tersebut, bisa saja diadakan lomba rumah ibadah yang ramah lingkungan untuk membangun kesadaran kolektif. Misalnya, rumah ibadah yang bebas sampah plastik, yang menggunakan energi terbarukan, hemat dalam pengelolaan air, penanaman pohon. Lomba ini menjadi langkah kecil namun berdampak signifikan untuk membangun solidaritas universal yang mengarah pada kesadaran terhadap lingkungan. Para tokoh agama diharapkan melibatkan para generasi muda di setiap agama yang ada di Indonesia. Merekalah generasi yang akan mewarisi bumi dan lingkungannya nanti.  

Saya punya keyakinan kuat bahwa membangun budaya peduli serta mendidik orang untuk bertanggung jawab terhadap lingkungan akan mempengaruhi dunia sekitar kita. Kepedulian dan kesadaran untuk menyelamatkan lingkungan adalah bagian dari iman dari agama apa pun. Iman harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari sebagai ibadah. Semoga dengan upaya ini, ajaran Islam yang rahmatan lil alamin, sebagai rahmat atau cinta kasih untuk seluruh alam semesta, akan terwujud. ***

Bustar Maitar

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved