EcoStory

Pandemi Gerus Ekowisata Tanah Papua

Bagikan Tulisan
Salah satu homestay di Kampung Friwen, Raja Ampat yang sepi pengunjung (Dok. EcoNusa)

Kristian Sauyai telah berkeliling ke sejumlah pulau di Kepulauan Raja Ampat, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Ia pergi ke Pulau Kri dan Pulau Gam. Di sana, ia mendapati kondisi banyak homestay yang rusak karena tak mendapat perawatan memadai. Kondisi serupa juga ia temui saat mengunjungi homestay lain di pulau yang berbeda.

“80 persen homestay mengalami kerusakan. Yang paling rawan, kerusakan terjadi di atap homestay,” kata Kristian saat dihubungi EcoNusa.

Kristian adalah Ketua Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Asli Raja Ampat (Perjampat), organisasi yang memayungi orang asli Papua (OAP) pemilik homestay di Raja Ampat. Perjampat berdiri sejak tahun 2009. Bermula dengan delapan homestay di Pulau Waigeo Selatan, Kri, dan Gam, kini anggota Perjampat mencapai 133 homestay yang tersebar di setiap pulau di Raja Ampat.

Inisiatif pembentukan Perjampat dilandasi oleh semangat kemandirian. Sebelum Perjampat berdiri, masyarakat lokal tak memiliki tempat yang cukup signifikan dalam mengelola bisnis pariwisata di Raja Ampat. Penginapan dan akomodasi lainnya mayoritas dikelola asing dan pendatang. Kisah latar belakang dibentuknya Perjampat, salah satunya, terjadi karena tertutupnya informasi homestay yang dikelola oleh masyarakat lokal dibanding resort milik warga negara asing.

Waktu terus berjalan dan daya tarik Raja Ampat tak pernah lekang di mata wisatawan. Dalam lima tahun terakhir, jumlah wisatawan yang mengunjungi Raja Ampat tak pernah surut. Sebaliknya, justru terus meningkat. Menurut publikasi Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat, 10.759 orang wisatawan mancanegara (wisman) dan 7.691 orang wisatawan domestik (wisdom) berkunjung ke Raja Ampat di tahun 2014. Jumlah kunjungan meningkat hingga 24.090 orang wisman dan 22.285 wisdom pada tahun 2019.

Namun tahun 2020 menjadi pengecualian. Pandemi COVID-19 yang melanda berbagai wilayah di dunia memaksa semua orang menunda perjalanan untuk mencegah penyebaran virus. Akibatnya, beragam sektor industri jasa terkena dampak yang signifikan, termasuk pariwisata. Sejak Maret 2020, Raja Ampat sepi tanpa wisatawan. Pemerintah Kabupaten Raja Ampat menutup sementara semua destinasi wisata melalui Surat Edaran Nomor 440/101/Setda bertanggal 22 Maret 2020.

Tanpa pengunjung, tak ada transaksi ekonomi dan pendapatan menjadi nihil. Di sisi lain, homestay yang dibuat dengan menggunakan bahan bangunan ramah lingkungan tetap membutuhkan perawatan.

“Tidak ada biaya akhirnya (homestay) tidak terawat. Hingga akhir tahun, jadwal booking tamu homestay dibatalkan. Tapi ada juga tamu yang merasa prihatin dengan situasi ini dan kemudian uangnya dikontribusikan ke homestay. Ada juga yang mengubah jadwal hingga tahun depan,” ucap Kristian.

Selama pandemi COVID-19, masyarakat Raja Ampat bertahan hidup dengan mengandalkan hasil kebun untuk memenuhi kebutuhan pangan. Mereka juga menjaga laut di sekitar dari praktik pemanfaatan sumber daya kelautan secara tak bertanggung jawab. Menurut Kristian, situasi pandemi ini dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk menangkap ikan dan merusak lingkungan di spot penyelaman.

Kristian mendengar kabar bahwa pariwisata di Raja Ampat akan kembali dibuka secara perlahan pada Agustus 2020. Sayangnya, tak banyak yang bisa dilakukan oleh Perjampat untuk membantu kebutuhan setiap anggota.

“Saya sempat duduk dengan teman-teman pengurus (Perjampat). Saya sampaikan kepada teman-teman, paling tidak kita bisa sosialisasikan standar operasional prosedur baru yang akan kita gunakan saat pembukaan pariwisata,” ujar Kristian.

Apa yang terjadi di perairan Raja Ampat tak jauh berbeda dengan kondisi destinasi wisata di pegunungan. Destinasi wisata pengamatan burung di Pegunungan Arfak, Provinsi Papua Barat, terpaksa gigit jari menghadapi kondisi pandemi. Seperti halnya wisata di Raja Ampat, jadwal kunjungan yang sebelumnya telah dipesan batal hingga akhir tahun.

“Semua jadwal booking dari bulan Juni sampai Desember dibatalkan. Untuk tahun depan juga tidak ada. Kalau mereka batal untuk diubah ke tahun depan, oke. Tapi ini mereka tidak ada berita untuk tahun depan,” kata Hans Mandacan, pengelola ekowisata pengamatan burung dan homestay di Kampung Kwau.

Hans mengatakan, kerusakan homestay di Pegunungan Arfak terjadi di lima kampung, yaitu Kampung Kwau, Syoubri, Maibri, Warmarway, dan Mupi Gunung. Kelima kampung tersebut terkenal di kalangan para pengamat burung sebagai destinasi unggulan yang patut dikunjungi. Cenderawasih kerah (Lophorina superba) atau dalam bahasa lokal disebut nyet, cenderawasih Astrapia Arfak (Astrapia nigra), dan cenderawasih Parotia Arfak (Parotia sefilata) adalah burung-burung endemik yang dapat dijumpai wisatawan di Pegunungan Arfak.

Maka, tak heran nama-nama besar dalam penelitian burung seperti Tim Laman, fotografer alam liar, dan Ed Scholes yang merupakan peneliti burung dari Cornell Lab of Ornithology yang berbasis di Amerika Serikat, pernah menginjakkan kaki mereka di sana. Namun kinitak ada tamu yang mengisi daftar kunjungan homestay.

Papua Lorikeet, homestay milik Hans, menghasilkan Rp 250 juta pada 2019. Bila tak ada pandemi COVID-19, sejak Juni hingga Desember seharusnya Hans akan mendapatkan pendapatan sebesar Rp 500 juta.

“Tapi semua cancel dan tidak akan ada penghasilan yang seperti itu untuk tahun ini,” ujar Hans.

Para pemandu wisata dan masyarakat lokal menghabiskan waktunya dengan berkebun untuk bertahan hidup. Mereka menanam keladi, pisang, jagung, dan ubi.

“Karena penyakit corona memang kita lapar tahun ini, tapi kita tanam hari ini, kita makan di tahun depan. Setengah mati,” kata Hans berseloroh.

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved