
Bagi masyarakat adat Papua, hutan bukan sekadar kumpulan pohon. Hutan adalah “mama” yang menjadi sumber kehidupan, pelindung, dan pemberi penghidupan. Dari hutan, mereka mendapatkan makanan, air, bahan obat, kayu, hingga identitas budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Hubungan ini bukan hubungan ekonomi semata, melainkan hubungan spiritual yang mendasar. Karena itu, ketika hutan dirusak, masyarakat merasa seolah kehilangan ibu yang melahirkan dan membesarkan mereka.
Kesadaran inilah yang melandasi langkah masyarakat adat Sorong Selatan untuk memperjuangkan hak atas wilayahnya. Sejak lama, mereka menghadapi ancaman ekspansi perkebunan kelapa sawit. Izin-izin yang diberikan kepada perusahaan seringkali menimbulkan konflik, bukan hanya dengan masyarakat, tetapi juga dengan alam. Ketika hutan dibuka, sungai tercemar, dan ruang hidup yang selama ini menjadi penopang kehidupan terancam hilang.
Baca Juga: KPK Dorong Papua Barat Tindak Lanjuti Evaluasi Izin Sawit
Dari temuan Pemerintah Provinsi Papua Barat pada 2021, banyak perusahaan kelapa sawit yang terbukti melakukan pelanggaran. Merespons hal itu, Bupati Sorong Selatan Samsudin Anggiluli mengambil langkah berani untuk mencabut izin dan mengembalikan pengelolaan lahan kepada masyarakat.
Usai pencabutan itu, dengan dampingan EcoNusa, masyarakat bahu-membahu melakukan pemetaan partisipatif untuk melindungi wilayah mereka. Tua-tua adat, pemuda, perempuan, dan aparat pemerintah kampung duduk bersama menggambar batas-batas wilayah, mendiskusikan sejarah penguasaan tanah, dan menyusun profil masyarakat adat. “Pemuda sangat penting menjadi ujung tombak masyarakat, menjadi garda terdepan. Mereka harus tahu batas wilayah mereka, harus punya rasa memiliki,” kata Onesimus Ebar, Kepala Kantor EcoNusa Sorong Selatan, dalam diskusi Harapan Baru, Pengelolaan Perhutanan Sosial (Inklusif, Peran Kaum Muda, Kearifan Lokal) yang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Festival Perhutanan Sosial 2025 yang diselenggarakan oleh Kementerian Kehutanan pada 22 Agustus 2025.
Pada 2023, panitia masyarakat hukum adat melakukan verifikasi atas dokumen pemetaan. Setahun kemudian, Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan mengakui wilayah adat suku Sub-suku Nakin Onim Fayas yang mencakup Kampung Mogatemin dan Onimsefa di Distrik Kais Darat seluas 50.136 hektare. Wilayah ini kini sedang diajukan ke Kementerian Kehutanan untuk ditetapkan sebagai hutan adat dalam skema perhutanan sosial.
Baca Juga: Buah Manis dari Jalan Berliku Masyarakat Pertahankan Wilayah Adat
Peran Perempuan dan Pemuda
Agung Pambudi dari Kementerian Kehutanan mengaku kagum dengan proses yang berlangsung di Sorong Selatan. Ia menyaksikan sendiri bagaimana bersama EcoNusa, masyarakat bekerja keras sejak awal, meski tantangannya berat. “Kami melihat bagaimana EcoNusa tidak hanya melibatkan pemuda, tapi juga perempuan-perempuan adat. Mama-mama menunjukkan lokasi-lokasi hutan yang keramat, areal perlindungan, areal produksi, sampai areal yang menjadi identitas budaya mereka,” ujarnya.
Keterlibatan perempuan ini menjadi penting. Selama ini, peran mereka kerap dianggap hanya di ranah domestik. Namun kenyataannya, perempuan Papua adalah penjaga pengetahuan ekologis. Mereka tahu di mana letak hutan sagu, tempat yang ditumbuhi obat-obatan alami, dan mana wilayah yang tak boleh disentuh karena dianggap sakral. Pengetahuan itu menjadi dasar penting dalam merancang tata kelola hutan yang berkelanjutan.
Baca Juga: Bertemu Komite II DPD, Masyarakat Berharap Penetapan Hutan Adat
Demikian pula dengan pemuda. Bagi mereka, menjaga hutan bukan sekadar melestarikan warisan leluhur, tetapi juga cara untuk membangun masa depan. Di tengah godaan sawit yang menjanjikan keuntungan cepat, mereka memilih jalan yang lebih berat dengan mengelola sumber daya secara lestari. Kesadaran inilah yang membuat pemuda menjadi garda terdepan dalam mempertahankan hutan adat.
Bagi masyarakat Sorong Selatan, ancaman sawit bukan hanya soal kehilangan pohon atau lahan. Sawit membawa perubahan besar dalam pola hidup. Mereka adalah masyarakat berburu dan meramu, terbiasa mengambil hasil hutan seperti babi hutan, ikan, sagu, atau buah-buahan. Jika sawit masuk dan menggantikan hutan, maka hilanglah pola hidup itu. Mereka akan dipaksa beradaptasi dengan cara hidup baru yang bisa menggerus identitas budaya. “Secara kultural, secara budaya tentu akan menjadi perubahan yang sangat masif,” kata Agung. Karena itu, mempertahankan hutan bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga soal mempertahankan jati diri.
Membangun Kemandirian Ekonomi
Sambil menunggu pengakuan resmi dari pemerintah pusat, dengan dampingan EcoNusa masyarakat mulai mengembangkan usaha-usaha kecil berbasis hutan adat. Masyarakat membentuk kelompok usaha perhutanan sosial yang berfokus mengelola komoditas yang melimpah. Ada beberapa kelompok yang dibentuk, yakni kelompok yang menjual daging babi hutan hasil buruan, kelompok yang memproduksi keripik pisang dari kebun masyarakat, serta kelompok yang merintis homestay untuk wisatawan. Langkah-langkah ini mungkin terlihat sederhana, namun penting sebagai bukti bahwa hutan yang lestari bisa memberi manfaat ekonomi.
Lina Amalia dari Katadata menambahkan bahwa perhutanan sosial terbukti berdampak besar secara ekonomi. Dari riset yang dilakukan oleh Katadata, tercatat dampak langsung senilai Rp764 miliar dalam satu tahun, bahkan hampir Rp1 triliun jika dihitung efek bergandanya. Selain itu, perhutanan sosial mengubah orientasi pemuda. Jika sebelumnya banyak anak muda meninggalkan desa untuk merantau, kini semakin banyak yang memilih tinggal dan mengelola hasil hutan. Artinya, hutan bukan hanya menyelamatkan lingkungan, tapi juga menciptakan harapan baru bagi generasi muda.