Dampak pandemi Covid-19 dirasakan oleh hampir semua masyarakat dari berbagai lapisan di seluruh pelosok Tanah Air. Pandemi ini pun tidak hanya berdampak pada segi kesehatan, melainkan juga pukulan terhadap perekonomian, tak terkecuali di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku.
Masyarakat Raja Ampat, Papua Barat, sebagian besar menggantungkan hidup pada sektor ekowisata. Namun pandemi melumpuhkan perekonomian masyarakat akibat tidak adanya kunjungan wisatawan. Masyarakat di Maluku Utara yang menggantungkan perekonomiannya pada hasil pertanian kebun pun mengalami persoalan. Pemasaran produk dari kampung turun drastis akibat dibatasinya akses transportasi dan rendahnya daya beli masyarakat di kota. Penghasilan masyarakat kampung untuk pemenuhan kebutuhan hidup pun ikut terimbas.
Pukulan hebat itu lantas mendorong warga kampung di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku kembali giat bercocok-tanam untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Kebun-kebun yang semula terbengkalai kini kembali ditanami aneka tanaman pangan.
Merespon dampak pandemi terhadap ekonomi dan kebutuhan masyarakat kampung akan ketahanan pangan, Yayasan EcoNusa pun menyertakan program penyuluhan pertanian organik dan distribusi bantuan alat-alat pertanian dalam rangkaian kegiatan EcoNusa Covid-19 Response yang berkolaborasi dengan Perjampat (Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Asli Raja Ampat). Bantuan tersebut diharapkan dapat memperkuat sistem pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat selama pandemi.
Baca juga: EcoNusa Covid-19 Response Merespons Dampak Pandemi di Raja Ampat
Di Raja Ampat, masyarakat di Arefi Timur sebagian besar hidup dari berkebun dan aktivitas pariwisata.Tapi sejak pandemi, mereka menjadi semakin giat berkebun. Menurut Frans Dimara, Wakil Ketua Badan Musyawarah Kampung, di samping menjadi penyedia ekowisata, masyarakat Arefi sebenarnya telah berkebun sejak dulu. Namun, metode pembibitan hingga pemanenan belum terstruktur.
Sony Rumbino, salah satu peserta penyuluhan pertanian organik di Saporkren, juga mulai giat bertanam sejak Mei lalu. Hidupnya yang semula sebagai pemandu wisata pengamatan burung berubah drastis sejak pandemi. Demi menghidupi istri dan 4 orang anak, ia membuka kebun tak jauh dari rumahnya. Di area seluas 50 x 60 meter, ia menanam kasbi, betatas, sirih, dan jagung yang bibitnya masih bisa dicari dengan mudah di hutan.
“Sejak Februari, tidak ada lagi tamu yang datang ke Saporkren untuk melihat burung. Sejak 2004 kami mulai memandu wisatawan dari dalam dan luar negeri yang melihat burung di Saporkren. Baru sekali ini situasi begini terjadi,” ujar Sony.
Hal serupa juga dilakukan oleh masyarakat di Sawinggrai yang selama ini merupakan kampung tujuan para wisatawan Eropa berlibur. Tabita Rumbewas atau Mama Tabita, salah satu warga di Sawinggrai, kembali membuka kebunnya seluas 100 x 80 meter yang semula tak terurus. Kebun itu hanya ditanami kasbi, betatas, dan jagung, karena sayuran tidak tumbuh baik. Namun demikian, Mama Tabita justru bersyukur karena pandemi ini membuat kebunnya yang telah lama terbengkalai karena sibuk mengurus homestay, jadi produktif menghasilkan bahan pangan kembali.
Tiga kampung terakhir yang dikunjungi tim EcoNusa, yakni Kaliam, Solol, dan Amdui, adalah sentra komoditas pinang, kelapa, pisang, dan buah-buahan. Di sini sayuran hanya ditanam seadanya. Biasanya warga hanya menyebar benih dan tidak mengelolanya secara khusus. Mereka hanya mengandalkan kesuburan tanah.
Dengan penyuluhan pertanian organik, tim EcoNusa berharap masyarakat Raja Ampat lebih terbantu dan pengetahuan berkebun mereka semakin dalam. Menurut tim relawan penyuluh pertanian, Utreks Hembing dan Jemima Desi Wamna, jika semula masyarakat hanya mengetahui berkebun dengan ladang berpindah (sekadar tanam-dan-tinggalkan), kini mereka lebih paham bahwa ada cara alternatif untuk bercocok tanam. Sedikit-sedikit mereka juga belajar mengenai tahapan-tahapan seperti pemupukan dan pemberantasan hama.
Sementara kegiatan di Raja Ampat tengah berlangsung, di Maluku Utara, kegiatan EcoNusa Covid-19 Response dilakukan berkolaborasi dengan Perkumpulan PakaTiva. Penyuluhan pertanian organik bagi masyarakat dilakukan bekerjasama dengan Dinas Pertanian setempat.
Risky Bello, Staf Recovery Covid-19 Perkumpulan PakaTiva, saat dihubungi EcoNusa mengatakan bahwa masyarakat di wilayah dampingan Pakativa rata-rata adalah petani. Hasil tahunan mereka adalah rempah-rempah, terutama pala. Ada pula yang menghasilkan minyak kelapa. Sedangkan tanaman bulanan yang mereka kembangkan antara lain rica, tomat, sawi, dan jenis sayuran lain.
“Penyuluhan pertanian organik yang diberikan kepada masyarakat target utamanya adalah pembibitan. Agar masyarakat bisa membuat bibit sendiri dan tidak tergantung pada bibit dari pabrik,” ujar Risky. Ia juga menjelaskan, penyuluhan ditujukan agar ketika pemasaran hasil bumi mereka tersendat, ketahanan pangan masyarakat selama pandemi bisa lebih kuat lagi.
Pandemi ini seolah memang mengajarkan kita bahwa pangan sebagai kebutuhan dasar manusia bergantung pada alam. Peringatan Hari Pangan Sedunia setiap 16 Oktober kiranya menjadi refleksi bersama, betapa pentingnya pertanian untuk mendukung kehidupan, terutama di masa sulit ini. Kegiatan bercocok-tanam yang kini kembali ditekuni masyarakat pun diharapkan tak lantas berhenti ketika dunia kembali pulih dari pandemi nanti. Melainkan dapat menjadi benteng-benteng ketahanan dan kemandirian masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan.
Wawancara: Muhammad Syukron Makmun, Novi Sartyawan & V.A Wulandani
Editor: Leo Wahyudi