Wilayah di Tanah Papua didominasi oleh tutupan hutan yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Bagi masyarakat adat yang mendiami wilayah sekitar hutan, kehidupan mereka sangatlah bergantung pada potensi dan hasil-hasil hutan.
Sayang, luasan hutan di Tanah Papua kian hari kian berkurang. Kelestarian berbagai potensi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati di dalamnya pun ikut terancam. Selain karena penebangan pohon, pembukaan lahan untuk perkebunan sawit masih menjadi salah satu penyebab hilangnya tutupan hutan. Menurut Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Provinsi Papua Barat, pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di Papua Barat hingga saat ini luasnya mencapai 399.800,48 hektar. Angka ini masih terus diperbaharui datanya sesuai keadaan di lapangan.
Akibat dari alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan sawit, tak jarang pula masyarakat terpaksa harus kehilangan hutan-hutan di wilayah adatnya. Masyarakat kerap kali menjadi pihak yang dirugikan, karena tak lagi dapat memanfaatkan hutan serta menikmati hasil yang semestinya menjadi hak mereka. Tak menghendaki nasibnya serupa dengan masyarakat adat di wilayah lain yang hutan-hutannya sudah terlanjur habis dan beralih fungsi, masyarakat di Kampung Sira dan Manggroholo, Sorong Selatan, Papua Barat menolak adanya logging dan perkebunan sawit di wilayah hutan mereka. Sebaliknya, mereka ingin melindungi hutan di wilayah mereka yang masih tersisa agar masyarakat tetap dapat memanfaatkan hasilnya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
Hutan di kedua kampung ini merupakan bagian dari wilayah adat Knasaimos yang luasnya 81.390,6 hektar. Kampung Sira terletak di perbukitan. Sedangkan Kampung Manggroholo berada di lembah. Keduanya berjarak 200 meter, dipisahkan oleh tegakan sagu dan warganya masih berkerabat. Dua kampung ini letaknya sekitar 4 – 5 kilometer dari ibukota Kabupaten Sorong Selatan, Teminabuan. Di hutan ini, tumbuh berbagai jenis pepohonan seperti merbau, nyatoh, damar, dan gaharu.
Untuk memperjuangkan hutan tersebut, sejak 2008 masyarakat Kampung Sira dan Manggroholo telah melakukan berbagai upaya guna mendapatkan status hutan desa bagi hutan mereka. Melalui webinar “Perkembangan dan Opsi-opsi Tindak Lanjut Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit di Papua Barat” yang diadakan Econusa, Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Amos Sumbung memaparkan bahwa selama rentang waktu 2008 hingga 2013, masyarakat Sira dan Manggroholo melakukan pemetaan terhadap hutan di wilayah mereka. Tahun 2013 proposal hutan desa diajukan kepada Menteri Kehutanan.
“Tahun 2008 masyarakat menolak sawit. Mereka melakukan deklarasi penolakan logging dan sawit. Mereka mengundang Bupati dan DPR, menyampaikan ‘Lokasi kami kecil, kalau hutan ditebang habis, kami mau ke mana? Kami cari kayu ke mana untuk bangun rumah? Kami mau berkebun di mana? Kami mendapatkan obat-obatan dari mana? Kalau hutan di kampung ini ditebang, kami mau pindah ke mana?’” ungkap Amos menuturkan situasi kala itu.
Tahun 2014, perjuangan mereka berbuah manis dengan terbitnya SK Hutan Desa Manggroholo dan Sira oleh Menteri Kehutanan. Hutan Sira dan Manggroholo menjadi hutan desa pertama di Tanah Papua dengan luas 3.545 hektar.
“Sebenarnya waktu itu juga masih meraba-raba, skema apa yang cocok. Tapi yang penting, masyarakat harus punya hak atas wilayah adatnya dan dapat mengelola hutannya. Pilihannya waktu itu adalah hutan desa,” lanjut Amos.
Pasca terwujudnya cita-cita mempertahankan hutan di wilayah mereka, perjuangan masyarakat Sira dan Manggroholo tak lantas berhenti sampai di situ. Sejak terbitnya SK Hutan Desa tahun 2014 hingga saat ini, masyarakat di kedua kampung terus berusaha melakukan pengelolaan hasil hutan dengan keteraturan. Mereka melakukan pengelolaan hasil hutan bukan kayu, yakni dengan memanfaatkan damar, pertanian organik dalam skala kecil, serta meningkatkan produksi sagu dan diversifikasi produk dari bahan baku sagu.
“Sagu kami adalah hasil unggul. Anak-anak sekolah, itu dari hasil sagu. 20 kilo sagu itu satu karung 200 ribu,” ungkap Yoel Smere, salah satu warga yang ditemui oleh tim Bentara Papua dan Econusa. Ia adalah salah satu warga yang menggantungkan kehidupannya dari alam dan mengolah sagu.
Selain itu, untuk memanfaatkan hutan dan tetap menjaga kelestariannya, menurut Amos, masyarakat di kedua kampung tersebut sebenarnya juga tengah membangun ekowisata dalam dua tahun terakhir ini. Sayangnya, karena situasi pandemi saat ini serba sulit dan tidak menentu, pengoperasian ekowisata ditunda hingga tahun depan.
Upaya perlindungan terhadap hutan desa dilakukan masyarakat Sira dan Manggroholo dengan ketat melalui patroli pengawasan hutan dan wilayah konservasi. Selain berburu, mereka juga memantau hutan untuk mengantisipasi adanya perambah hutan masuk. Anak muda dan orang tua dikerahkan untuk melakukan pengawasan demi menjaga hutan, sumber penghidupan mereka yang tak ternilai harganya.
Editor: Nina Nuraisyiah