Search
Close this search box.
Search
Close this search box.

Mencetak Ilmuwan Tanah Papua

Bagikan tulisan ini

 

Publikasi ilmiah yang dibuat oleh para peneliti di Indonesia masih terbilang minim, termasuk riset tentang keanekaragaman hayati. Meski subyek penelitian relatif lebih banyak dibandingkan negara lain, namun hal itu belum cukup untuk mendorong keragaman penelitian. Untuk itu, kerja sama berbagai pihak sangat diperlukan guna mencapai sasaran yang termaktub dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Papua Barat, Charlie D. Heatubun, mengatakan bahwa fokus penelitian keanekaragaman hayati di Indonesia masih tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Papua Nugini dan Australia. Padahal, Indonesia memiliki empat provinsi dengan luasan hutan lebih dari 50 persen dari luas area provinsinya sendiri. Hutan-hutan tersebut ada di Provinsi Papua, Papua Barat, Kalimantan Utara, dan Aceh.

“Kalau dibanding dengan Papua Nugini dan Australia, mereka sudah terang benderang. Sedangkan kita masih banyak yang belum diketahui. Banyak daerah yang belum kami masuki tapi berada dalam konsesi kelapa sawit yang kalau dilakukan akan terjadi land clearing, semua habis. Betapa ruginya kita,” kata Charlie dalam sosialisasi virtual Program Ilmuwan Muda Papua.

Menurut Charlie, hingga saat ini telah tercatat ada 3.764 spesies vertebrata dan 200.000 invertebrata di Tanah Papua. Selain itu, sekitar 13.402 tumbuhan berpembuluh tersebar di Bumi Cendrawasih dengan 68 persen dintaranya merupakan tumbuhan endemik. 

Charlie berharap jumlah tersebut akan terus meningkat seiring pertambahan publikasi ilmiah. Untuk mendorong hal itu, Balitbangda Provinsi Papua Barat dan Yayasan EcoNusa mencanangkan program Ilmuwan Muda Papua (IMP) sebagai wadah bagi peneliti muda Tanah Papua dalam mendukung visi pembangunan berkelanjutan.

Program IMP bertujuan untuk menggalang partisipasi anak muda di Tanah Papua melalui penelitian tentang pembangunan berkelanjutan. IMP mendanai penelitian dengan sub-tema ekologi, ekonomi, dan sosial. Proposal para peneliti yang telah melewati tahap seleksi akan mendapatkan pelatihan dan pendampingan hingga seminar hasil penelitian.

“Aktivitas penelitian memberikan kontribusi besar terhadap pengetahuan. Kami mendorong program IMP akan terus berlangsung. Basis data penelitian kita sampai saat ini masih tercerai berai. Ini ironi. Kita punya keanekaragaman hayati dan budaya tapi wali data ada di negara lain. Pengalaman saya, kita harus ke Inggris, Belanda, Italia untuk belajar biodiversitas, ” ujar Charlie.  

Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Jatna Supriatna mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam riset sumber daya alam. Menurutnya, Indonesia memiliki 6.000 jenis tumbuhan pangan dan 2.500 jenis tumbuhan obat yang belum dimanfaatkan dengan optimal dalam menunjang industri.

“PBB telah menetapkan 2010-2020 sebagai dekade biodiversitas. Industri yang akan maju adalah industri farmasi, kesehatan, pangan, pertanian, dan kosmetik. Industri tersebut mengandalkan keanekaragaman hayati sebagai bahan baku yang disertai pengetahuan dan teknologi,” kata Jatna.

Jatna mengibaratkan hutan sebagai emas hijau karena memiliki beragam manfaat. Menurutnya, 70 persen obat-obatan diperoleh dari hasil penelitian yang ada di hutan. Dia mencontohkan tanaman seperti Kecubung (Brugmansia candida Pers), Tembakau (Nicotiana tabacum), Pinang (Areca catechu L), dan Serai (Cymbopogon winterianus Jowitt) dapat dimanfaatkan sebagai biopestisida.

Untuk industri tekstil, hutan menyediakan beragam pewarna alami yang dapat dimanfaatkan, seperti Pakis beunyeur, Kanyere badak, Cicer reticulatum sebagai pewarna kuning yang tersedia di Tanah Papua.

Sayangnya, dukungan pemerintah melalui dana penelitian relatif kecil dibanding negara lain. Menurut Jatna, pemerintah Indonesia hanya mengalokasikan dana penelitian sebesar 0,01 persen dari produk domestik bruto (GDP) pada 2015. Jumlah peneliti Indonesia per kapita pada 2015 hanya 90 orang. 

“Peran universitas adalah mencetak peneliti. Untuk itu diperlukan waktu dan dana. Saat ini kita tidak bisa bekerja sendiri, perlu kerja sama dengan berbagai pihak,” ungkap Jatna.

Direktur Program Yayasan EcoNusa Muhammad Farid berharap bahwa program IMP dapat mencetak ilmuwan muda Tanah Papua. Menurutnya, ilmuwan muda memiliki peran yang sangat penting untuk mendukung pembangunan berkelanjutan yang telah dicanangkan Pemerintah Provinsi Papua Barat.

“Kami ingin hasil penelitian tidak hanya tersimpan di perpustakaan tapi juga dapat menunjang kehidupan orang asli Papua. Hasil penelitian ini kita masukkan ke dalam event nasional dan internasional,” kata Farid memberi contoh event seperti simposium flora Melanesia tahun 2022.

Editor: Leo Wahyudi

Berita lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved