Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Mempertahankan Bahasa Ibu: Upaya Menyelamatkan Pengetahuan Etnobotani Suku Marori

Bagikan Tulisan
Rawa Biru di Taman Nasional Wasur, Merauke, Papua. (gambar: Mongabay)

Keberagaman budaya Tanah Papua tidak perlu diragukan lagi. Mulai dari suku, adat istiadat, dan bahasa. Bila membahas mengenai bahasa lokal Papua maka erat kaitannya dengan bahasa ibu (bahasa asli). Sejumlah kajian ilmiah menerangkan bahwa bahasa ibu Papua berhubungan dengan relasi antar manusia dengan lingkungan.

Seiring perubahan dan berkembangnya jaman, juga banyaknya pendatang baru dari luar yang masuk ke Tanah Papua menjadi sebuah ancaman tersendiri terhadap eksistensi bahasa ibu dari suku-suku yang mendiami Papua. Perkembangan dunia modern saat ini perlahan mulai menggerus identitas budaya, termasuk bahasa yang mulai ditinggalkan oleh kalangan kaum muda. Beberapa bahasa daerah di Papua dilaporkan terancam punah salah satunya bahasa Marori.

Secara geografis, Marori adalah suku kecil dan bahasa asli di dalam rumpun besar Marind Anim (=orang Marind) yang mendiami Kampung Wasur, Kabupaten Merauke Papua. Dalam buku tersebut menjelaskan bahwa dulunya suku Marind (suku Marind hidup di selatan dari bagian bawah sungai Digul, timur dari Pulau Yos Sudarso) menyebut orang Marori dengan sebutan Manggat atau Manggat-rik, tetapi saat ini sebutan itu tidak begitu populer.

Dalam situs resmi The Endangered Languages Project, jumlah penutur asli bahasa Marori saat ini lebih kurang 150 orang, namun temuan di lapangan melalui penelitian La Hisa, Agustinus Mahuze, dan I Wayan Arka (2018) dalam buku “Etnobotani, Pengetahuan Lokal Suku Marori di Taman Nasional Wasur Merauke”, menunjukkan bahwa jumlah penutur aktif hanya tinggal 20 orang.

Senada dengan penjelasan dalam buku tersebut, penelitian ilmiah I Ngurah Suryawan, Jurusan Antropologi (2017), Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Papua (UNIPA) yang diterbitkan dalam jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 19 No. 3 (2017), juga menjelaskan bahwa orang-orang Marori saat ini tengah dihadapkan dengan perubahan sosial budaya.

I Ngurah Suryawan menjelaskan bahwa fenomena perubahan sosial budaya tidak dapat terhindarkan, dan kini melanda manusia dan wilayah-wilayah kampung yang dulunya hidup dalam landasan filosofis lokal tentang relasi manusia dan ekologi. Menurut Ngurah, perlahan-lahan landasan filosofis tersebut dibenturkan dengan tantangan dari pengaruh modernitas yang berasal dari berbagai faktor seperti arus migrasi yang kencang, perusahaan yang mengeruk kekayaan alam, dan akulturasi kebudayaan yang perlahan-lahan masuk.

Kehidupan masyarakat Marori pada awalnya adalah sebagai kaum peramu yaitu hidup secara tradisional dan mengumpulkan hasil-hasil alam untuk memenuhi kebutuhan hidup. Warisan-warisan leluhur berupa sistem-sistem dan pengetahuan tradisional masih dapat ditemukan sampai saat ini.

Selain tradisi dan sistem kepercayaan, masyarakat Marori memiliki pengetahuan-pengetahuan lokal yang diwariskan melalui bahasa ibu, salah satunya adalah pengetahuan tentang manfaat tumbuh-tumbuhan (etnobotani). Etnobotani adalah salah satu disiplin ilmu cabang biologi yang mengkaji tentang bagaimana suku-suku asli (manusia) memanfaatkan tumbuh-tumbuhan untuk pangan, tempat tinggal, dan sandang (Young, 2007).

Secara sederhana etnobotani dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia atau kalangan etnis tertentu dengan dunia tumbuh-tumbuhan di lingkungan mereka. Fokus dari kajian etnobotani antara lain kegunaan tumbuh-tumbuhan sebagai sumber pangan, obat-obatan tradisional, penghasil pewarna, penghasil serat, bahan kerajinan atau anyam-anyaman, ritual adat dan kayu bakar.

Dalam konteks pemanfaatan tumbuhan-tumbuhan, masyarakat Marori memiliki pengetahuan yang cukup baik dalam mengenal bentuk fisik lahan maupun karakteristik vegetasi, yang dituangkan lewat istilah bahasa lokal. Mereka dapat mengidentifikasi tumbuhan khas yang ditemukan di lingkungan tertentu.

Contohnya saja penyebutan hutan lebat dalam bahasa Marori. Bersumber dari buku “Etnobotani, Pengetahuan Lokal Suku Marori di Taman Nasional Wasur Merauke”, suku Marori menyebut hutan lebat dengan nama ‘deg’, yang dominan ditumbuhi tumbuh-tumbuhan seperti jenis Syzygium branderhorstii, Mangifera gedebe, Ptychosperma macarthurii, Ficus spp. dan Endiandra sp.

Adapun rawa-rawa tahunan yang disebut ‘purferi’ dan banyak ditumbuhi oleh vegetasi seperti jenis Metroxylon sagu, Nauclea orientalis, Livistona humilis, Semecarpus australiensis, Voacanga grandifolia, Antidesma ghaesembilla, Trichospermum sp., Curcuma spp., Kaempferia galanga dan Zingiber zerumbet. Dan masih banyak istilah lokal lainnya.

Saat ini orang-orang Marori hampir sepenuhnya meninggalkan bahasa ibu mereka dan beralih ke bahasa Indonesia sebagai bahasa yang paling dominan. Lebih disayangkan lagi adalah bahasa Marori ini tidak diturunkan kembali ke generasi penerusnya.

Berdasarkan penelitian La Hisa et al dalam buku tersebut, menjelaskan bahwa tergerusnya bahasa ibu atau lokal akan mengancam eksistensi pengetahuan etnobotani suku Marori yang pewarisannya hanya melalui bahasa. Menjawab tantangan tersebut maka diperlukan suatu strategi dan inisiatif yang konkret agar bahasa ibu suku Marori dan nilai-nilai pengetahuan lingkungan, serta pengelolaan sumber daya alamnya tidak punah seiring berjalannya waktu.

Salah satu inisiatif yang dapat dijalankan yakni melalui upaya dokumentasi bahasa-bahasa lokal dan nilai-nilai pengetahuan Suku Marori, khusunya dokumentasi bahasa yang berhubungan dengan lingkungannya. Upaya dokumentasi bahasa dan pengetahuan lokal adalah modal bagi generasi selanjutnya dalam menghadapi perubahan sosial.

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved