
Suku Irires merupakan salah satu entitas masyarakat adat yang mendiami wilayah di Tanah Papua, di mana hubungan tradisional di antara anggotanya masih terjaga secara fungsional hingga saat ini. Ikatan ini bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan fondasi hidup yang wujud nyatakan dalam praktik sehari-hari. Mulai dari pola pemanfaatan hutan dan sungai secara komunal, mekanisme penyelesaian masalah melalui musyawarah adat, hingga kewajiban ritual yang mengikat antar marga. Sistem sosial yang kuat inilah yang memungkinkan masyarakat Irires terus mempertahankan ikatan komunitas dan identitas budaya di tengah arus perubahan zaman.
Meski praktik ini masih berlangsung, wilayah adat mereka belum sepenuhnya tercatat secara formal dalam sistem pemerintahan. Pemetaan wilayah menjadi langkah penting yang mereka tempuh agar hak atas tanah dan hutan dapat diakui secara sah.
Inisiatif Pemetaan dan Pendampingan
Sejak 2023, Yayasan EcoNusa memulai pendampingan terhadap masyarakat adat Irires. Tujuan utamanya adalah masyarakat mendapat pengakuan hak dari pemerintah. Proses ini telah berjalan melalui beberapa tahapan, termasuk pelaksanaan Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), penyusunan rencana kerja, pembentukan lembaga pengelola dalam suku hingga pengambilan data koordinat batas wilayah adat awal. Dalam perkembangannya, ditemukan indikasi bahwa wilayah adat Suku Irires tidak terbatas pada satu kabupaten, melainkan teridentifikasi meluas hingga ke wilayah administratif Kabupaten Teluk Bintuni dan Kabupaten Maybrat.
Baca Juga: Menjaga Hutan, Menjaga Kehidupan di Sorong Selatan
Dari temuan tersebut, tim EcoNusa mengagendakan kegiatan survei untuk menelusuri dan memetakan batas wilayah adat suku Irires yang berada di Kabupaten Teluk Bintuni. Setelah berdiskusi dan mendapat dukungan penuh dari para tokoh pemerintah kampung serta pemuda setempat, tim melakukan perjalanan pada 6 September 2025.
Siang itu, tim yang terdiri dari dua orang staf EcoNusa, dua orang perwakilan masyarakat Irires di Tambrauw, dan seorang fasilitator lokal dari kampung Inofina memulai perjalanan dari Bintuni kota menuju Distrik Moskona Utara Jauh. Jika diukur lewat Google Maps, jaraknya hanya sekitar 160 kilometer. Mungkin tak terdengar jauh, namun realita di lapangan adalah cerita yang sama sekali berbeda. Selama sepuluh jam, mobil gardan ganda yang kami tumpangi menjadi satu-satunya kawan setia, berjuang melawan guncangan hebat dari jalanan tanah yang rusak parah dan jalur berlumpur yang menguji adrenalin. Setiap kilometer yang kami tempuh adalah pengingat nyata tentang minimnya fasilitas yang diterima masyarakat, sekaligus pemacu semangat kami untuk menjangkau mereka.
Perjalanan Lapangan ke Inofina
Perjalanan kali ini sangat menantang. Kami tiba di Distrik Moskona Utara Jauh pukul 21.30 WIT. Karena jalan yang semakin sempit dan rusak, tim memutuskan untuk berjalan kaki menuju Kampung Inofina. Selama 3 jam, kaki kami melangkah, melewati jalan tanah yang licin dan gelap. Kami tiba di Kampung Inofina pada pukul 00.30 WIT dini hari. Badan yang lelah meminta kami beristirahat, namun perut yang lapar membuat kami tetap terjaga untuk menyiapkan makan malam. Sambil menunggu hidangan siap disantap, tim merencanakan kegiatan esok hari.
Pagi tiba, masyarakat sudah berkumpul di gereja untuk mengikuti ibadah Minggu. Sebagian tim mengikuti ibadah bersama masyarakat. Sepulang ibadah, kami bertemu dengan masyarakat, menjelaskan dengan detail kepada masyarakat adat Moskona dan Irires yang mendiami Inofina terkait agenda kedatangan tim EcoNusa ke kampung untuk memastikan batas wilayah adat suku Irires bagian selatan, dan memastikan marga batasan.
Baca Juga: Meski Terisolir, Masyarakat Ombanariki Tetap Berkomitmen Melindungi Wilayah Adat
Masyarakat menyambut dengan suka cita niat baik kami. Karena selama ini masyarakat adat di Papua rentan dengan permasalahan perampasan hak tanah. Salah satu bapak di Kampung Inofina bahkan mengatakan, “Kalau anak-anak tidak datang untuk pagari kita punya kebun ini suatu hari nanti kebun yang tong sudah jaga ini babi hutan datang kasih rusak,”. Sebuah metafora sederhana, tapi jelas tanpa pengakuan hak yang diawali oleh proses pemetaan, hak bisa hilang.
Perjalanan Pengambilan Titik Koordinat dan Dukungan Masyarakat
Esok paginya, setelah sarapan dengan menyeruput teh yang hangat, dua orang perwakilan masyarakat dan anak muda kampung bergabung bersama kami. Sehingga jumlah tim menjadi tujuh orang. Kami berangkat untuk mengambil titik batas suku Irires di bagian selatan dengan membawa bekal yang dimasukkan ke dalam tas dan noken untuk perjalanan panjang ini. Saat menyusuri jalanan kampung, satu per satu masyarakat keluar dari rumah, beberapa di antara mereka memberikan bekal ubi bakar, yang dalam bahasa lokal disebut ipere, juga doa-doa dan dukungan semangat agar kami bisa memetakan wilayah mereka. Ini membuktikan bahwa kepedulian masyarakat tentang perlindungan wilayah dan hutan adatnya masih tetap ada.
Tim bersama perwakilan masyarakat berjalan kaki dari kampung pukul 08.00 WIT, menanjak melewati perbukitan. Pukul 11.00, ketika perut sudah mulai keroncongan, kami beristirahat untuk makan. Setelahnya, tim kembali melanjutkan perjalanan mendaki puncak Meikin dengan ketinggian 1.300 Mdpl. Tak dinyana, hujan deras turun mengguyur, kami berlarian menuju goa terdekat untuk melindungi peralatan elektronik yang kami bawa. Hujan mulai menipis, kabut tebal turun. Kami memutuskan untuk membangun kamp untuk beristirahat.
Goa LSM
Camp sudah berdiri, kayu bakar sudah tersedia, kami sudah mengganti pakaian dan api sudah menyala. Sambil menghangatkan badan, kami mulai menanak nasi dan saling bercerita. Bapak E. Sasior, salah satu perwakilan kampung yang ikut dalam tim, mengatakan, “Kamu bukan orang Irires tapi kamu punya niat bantu kami. Bapa lihat sangat tulus,” katanya.
E. Sasior juga menceritakan bahwa goa yang kami singgahi ini ternyata sebelumnya belum pernah didatangi. Sambil bercanda, bapak E. Sasior menamai goa tersebut sebagai Goa LSM, untuk mengingat dan mengenang tim yang berkunjung melakukan pengambilan koordinat batas wilayah adat.
Sungai Aisasior
Matahari belum terbit, tapi kami sudah terbangun karena suhu yang sangat dingin lantaran api unggun sudah padam. Pagi itu waktu menunjukan 04:30 WIT. Tanpa aba-aba, kami berbagi peran. Ada yang mencari kayu bakar, sebagian lagi memasak nasi untuk sarapan dan bekal perjalanan. Setelah semua siap dan sudah makan, kami menuju sungai Aisasior yang merupakan batas antara suku Irires dan suku Moskona. Sepanjang perjalanan kami begitu terhibur mendengarkan kicauan burung yang seakan menyemangati untuk tetap semangat melanjutkan perjalanan.
Baca Juga: Jaga Hutan Papua, Masyarakat Adat Dilatih Gunakan Aplikasi SMART Patrol
Setelah perjalanan panjang mendaki dan menuruni bukit, akhirnya tim tiba di sungai Aisasior. Melihat air yang mengalir, kami buru-buru menurunkan perbekalan dan perlengkapan. Tanpa ba-bi-bu, kami segera turun ke sungai untuk membersihkan badan sekaligus menghilangkan lelah. Air yang segar rasanya melunturkan rasa penat kami.
Kedatangan Penjaga Dusun
Hari itu kami memutuskan akan menginap di dekat sungai. Kami mendirikan camp di sana. Tak lama, seorang penjaga dusun, Ananias Aisasior, mendatangi kami. Bapak Ananias adalah salah satu masyarakat adat suku Irires yang tinggal di tengah hutan yang berbatasan dengan suku Moskona.
Kehadiran Bapak Ananias, sang penjaga dusun, terasa seperti menemukan potongan puzzle terakhir. Beliau bukan sekadar penjaga perbatasan, tapi juga penjaga memori Suku Irires. Malam itu, di tepi sungai, kami tidak hanya berdiskusi. Ditemani canda tawa, kami seperti membuka peta kuno yang terbuat dari cerita, kisah perjalanan leluhur dan makna hutan sebagai rumah.
Dari cerita bapak Ananias, kali yang mengalir dan goa-goa yang ada di wilayah Aisasior merupakan saksi kelahiran anak-anak Aisasior yang sekarang mendiami wilayah Maybrat, Moskona dan Tambrauw. Di sanalah kami benar-benar mengerti bahwa melindungi hutan berarti melindungi sejarah hidup mereka.
Berbekal pemahaman baru itu, keesokan harinya pekerjaan kami terasa lebih bermakna. Setiap titik koordinat yang kami catat bukan lagi sekadar data biasa, melainkan jejak dari cerita tadi malam. Setelah semua data baik spasial maupun sosial terkumpul, kami memasak bekal terakhir di tepi sungai, lalu memulai perjalanan kembali ke Kampung Inofina dengan perasaan tuntas.
Editor: Nur Alfiyah