Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Membangun Masyarakat Adaptif

Bagikan Tulisan
Para Mama di Kampung Edor, Distrik Buruway, Kabupaten Kaimana, Papua Barat, memanen sayur-mayur yang mereka tanam di kebun untuk memenuhi kebutuhan pangan. (Yayasan EcoNusa/ Moch. Fikri) 

Kemampuan beradaptasi dalam menghadapi perubahan yang relatif cepat menjadi syarat mutlak ketangguhan masyarakat. Hal ini sangat diperlukan untuk bertahan dalam situasi tak menentu seperti saat menghadapi pandemi COVID-19. Tanpa itu, masyarakat menjadi rentan, bahkan hingga pada tahap kesulitan mengakses sumber daya untuk memenuhi kebutuhan primer seperti pangan.

Sayangnya separuh dari 34 provinsi di Indonesia memiliki tingkat ketahan pangan yang rendah. Kondisi ini tercermin melalui publikasi Badan Pusat Statistik Maret 2019. Mengutip Kompas, alokasi pengeluaran rata-rata per kapita untuk pangan lebih besar daripada pengeluaran bukan pangan. Provinsi Nusa Tenggara Timur, Aceh, Papua, Sumatera Utara, dan Sulawesi Barat menjadi contoh provinsi dengan ketahanan pangan terendah.

Baca juga: Belajar Ketahanan Pangan dari Masyarakat Adat Tanah Papua

Peneliti INSIST Ahmad Mahmud menyatakan bahwa beragam kebijakan yang ditujukan untuk membangun ketahanan masyarakat masih jauh panggang dari api. Menurutnya, yang terjadi justru sebaliknya. Berdasarkan hasil penelitan di lebih dari 200 desa, baik di dalam maupun luar Pulau Jawa, Ahmad  mendapati tak ada desa yang mampu memenuhi kebutuhan pangan bagi warganya.

“Di beberapa desa malah ada akumulasi persoalan pangan, air bersih, dan seterusnya,” Ahmad dalam diskusi daring bertajuk “Mambangun Resiliensi Warga” yang diselenggarakan Yayasan EcoNusa pada Senin 4 Mei 2020.

Peneliti Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) Surakarta itu mencontohkan perubahan yang terjadi di Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Jauh sebelum Indonesia merdeka, Klaten telah menjadi daerah penyangga pangan. Saat itu Klaten juga menjadi salah satu daerah tersubur di Asia. Hasil produksi beras Klaten menjadi buah bibir. Namun seiring berjalannya waktu, luas lahan produksi semakin menyempit.

“Saat saya melakukan penelitian komprehentif pada 2012, kondisinya berubah. Di salah satu desa, hanya tinggal 80 ha saja (luas sawahnya). Itupun separuhnya bukan milik warga desa. Saya kira hampir semua di Jawa, tinggal sedikit saja, yang menanam tanaman pangan yang untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri,” ujar Ahmad.

Baca juga: Warga Samo Membangun Kemandirian Pangan

Perubahan ketahanan masyarakat juga terjadi di Desa Samo, Kecamatan Gane Barat Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Memanfaatkan hasil hutan non-kayu dan perkebunan, masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Direktur Perkumpulan PakaTiva Faizal Ratuela mengatakan bahwa kerentanan masyarakat Desa Samo terjadi seiring masuknya investasi Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

“Masuknya investasi HPH sejak tahun 1989 membuka kawasan hutan yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Samo. Mereka mengembil hasil hutan yang membuat pergeseran pola hidup di Desa Samo,” kata Faizal.

Menurut Faizal, masuknya investasi juga mengubah pola pengelolaan perkebunan. Masyarakat Samo hanya menanam tanaman tahunan seperti kelapa, pala, cengkih, dan kakao. Sedangkan tanaman musiman seperti padi dan umbi-umbian tak lagi dikerjakan. Ini terjadi lantaran mereka bekerja untuk perusahan HPH dan tanaman musiman yang membutuhkan perawatan lebih. Kemudian, pendistribusian sapi oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan tak banyak membantu. Tanpa penguatan kapasitas untuk beternak, sapi yang dilepasliarkan malah merusak tanaman perkebunan.

Baca juga: Melibatkan Kaum Muda untuk Mengelola SDA di Kaimana

Masuknya investasi HPH juga menyebabkan degradasi lingkungan. Menurut Faizal, masyarakat Samo tak pernah mengalami kebanjiran, namun pasca 2000-an banjir melanda Maluku Utara. “Karena masuknya HPH itu terjadi banjir salah satunya di Samo,” ujar Faizal.

Sejak 2019, masyarakat Desa Samo dan PakaTiva berkolaborasi mengembalikan pola penggunaan ruang dan pola bertanam untuk memenuhi kebutuhan. Saat pandemi COVID-19 terjadi, daya adaptif masyarakat Desa Samo telah terbangun. Mereka tak mengandalkan pasokan pangan yang datang dari Jawa dan Sulawesi. “Padi ladang menjadi sumber mereka untuk bertahan sehingga mereka tidak lagi mengeluarkan dana untuk beli beras,” kata Faizal.

Muddin Hasyim, petani Desa Samo, menjadi contoh bukti ketahanan masyarakat terhadap pangan. Ia menggarap padi di lahan seluas  50×50 meter. Berkat panen padi, Muddin menghemat pengeluarannya hingga Rp 550 ribu per bulan untuk membeli beras dan sayuran. Ia juga tak lagi menjual buah pala untuk membeli beras. “Saya sudah bisa menabung. Biji pala yang dipanen tidak perlu untuk beli beras,” katanya.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved