EcoStory

Mekanisme Pendanaan Bagi Masyarakat Pelaku Konservasi Harus Diformulasikan

Bagikan Tulisan
Peneliti Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas Indonesia, Sonny Mumbunan (tengah), memaparkan usulan mekanisme pendanaan masyarakat adat melalui DAU dengan indikator tutupan hutan. Hal itu dia sampaikan dalam sesi pleno 4 Konferensi Internasional Keanekaragaman Hayati, Ekowisata dan Ekonomi Kreatif (ICBE) 2018. 

Provinsi Papua Barat yang sudah mendeklarasikan diri sebagai Provinsi Konservasi dengan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Pembangunan Berkelanjutan yang tengah dirancang tidak bisa berdiri sendiri. Perlu dukungan dari berbagai pihak baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Negara luar serta lembaga-lembaga Donor Global.

Salah satu hal krusial yang perlu diperhatikan adalah insentif bagi pelaksanaan konservasi. Pasalnya, masyarakat Adat sebagai pelaku utama konservasi perlu diperhatikan kesejahteraannya sehingga mereka tidak perlu membuka atau menjual hutan mereka sebagai solusi untuk mencari pendapatan. Hal itu secara khusus dibahas dalam Konferensi Internasional Keanekaragaman Hayati, Ekowisata dan Ekonomi Kreatif (ICBE) 2018 hari kedua di Manokwari Papua Barat.

“Kalau kita berpikir bahwa konservasi itu adalah hutan yang tidak boleh ditebang, lalu rakyat makan apa? Tapi kalau hutan terus ditebang supaya ada pendapatan bagi Masyarakat, maka hutan dan keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya akan lenyap dan kita hanya nikmati sesaat saja, kondisi alam dan keanekaragaman hayati tersebut tidak akan dinikmati oleh anak cucu kita 50-100 tahun kedepan, kita pun akan susah untuk menghijaukan kembali,hutan yang telah kita rusak” ucap Sekretaris Daerah Provinsi Papua Barat Drs. Nataniel D. Mandacan saat berbicara dalam salah satu sesi pleno.

“Lalu kita pikir bagaimana hutan tetap hijau, tapi uang itu tetap mengalir, jadi mari kita pikirkan, di sini banyak orang pintar, ada pemerintah pusat dan juga LSM Nasional dan internasional, mari kita pikirkan mekanismenya, pasti ketemu,” terang Nataniel.

Tantangannya adalah bagaimana pemerintah Pusat dan pemerhati lingkungan lainnya untuk bersama – sama menemukan sebuah skema pendanaan yang tepat agar masyarakat Adat yang bekerja menjaga hutan maupun kawasan konservasi lainnya di Tanah Papua tidak merasa kekurangan secara ekonomi. Pemerintah Provinsi Papua Barat sendiri menargetkan untuk 70% kawasannya dijadikan kawasan konservasi dalam Rancangan Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang akan dikaji ulang seiring dengan adanya regulasi daerah yang akan dikeluarkan terkait Revisi RTRW di Provinsi Papua Barat.

Terkait dengan keseriusan Pemerintah Daerah untuk mempeluas daerah konservasi sesua prosentasi dalami RTRW dan melindungi keanekaragaman hayati maka diharapkan agar Pemerintah Pusat, dapat mendukung dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengamankan kemauan daerah tersebut. Disamping itu, menyangkut insentif bagi Daerah dalam bentuk Ecological Fiscal Transfers yang sedang diusulkan diharapkan agar jangan sampai ada aturan yang justru menghambat dan malah seperti membunuh inovasi. Padahal tujuan dari penetapan areal konservasi ini adalah untuk membantu keinginan Pemerintah Pusat dalam menjaga stok karbon untuk menahan laju perubahan iklim. Kalau rakyat merasa tidak ada penghargaan dan insentif bagi mereka dalam menjaga hutan atau lahan gambut, maka bisa saja hutan mereka jual dan tebang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka,” tambah Nataniel.

Dalam pleno berbeda, peneliti dari Research Centre for Climate Change Universitas Indonesia Sonny Mumbunan menyatakan pendanaan dari Pemerintah Pusat sangat dimungkinkan untuk dilakukan melalui mekanisme Dana Alokasi Umum. Formulanya, indikator tutupan lahan dapat dijadikan salah satu acuan dalam menyalurkan alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tersebut.

“Jadi bagi daerah-daerah yang memiliki tutupan lahan hutan tertentu dan mengalami pertambahan tutupan kawasan, itu bisa diberikan insentif. Mekanisme ini sudah saya bicarakan di Kementerian Keuangan hingga Kementerian Dalam Negeri dan mendapat respon berbeda-beda,” terang Sonny Mumbunan.

Dirinya menyebut mekanisme ini sudah berhasil di Brasil dan India. Oleh karena itu, hal ini berpeluang untuk sukses jika melihat kondisi Indonesia dan India yang hampir sama.

“Oleh karena itu, semua tergantung Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah tinggal mendorong, seperti Pemerintah Provinsi Papua Barat yang sudah memiliki komitmen dan Regulasi Daerah dalam bentuk Perdasus yang telah diserahkan ke DPR Papua Barat untuk di bahas dan ditetapkan, nanti tinggal payung hukumnya saja yang dibuat oleh Pemerintah Pusat,” papar Sonny.

Dalam kesempatan berbeda, akademisi dari Universitas Papua Ludia Wambrauw meminta agar dana yang masuk dalam rangka konservasi, jangan langsung diberikan kepada masyarakat tanpa adanya pendampingan. Pasalnya, beberapa contoh kasus menunjukan pemanfaatan dana hanya bersifat temporer dan gagal.

“Pendanaan itu penting, tapi yang paling penting adalah pendampingan supaya tetap sustain. Kalau mau jangka panjang harus ada pendampingan pada masyarakat agar ekonomi yang terbangun juga berkelanjutan,” ucap dia.

Untuk itu, pemerintah daerah dapat memanfaatkan mitra-mitra pembangunan yang selama ini sudah melakukan pendampingan langsung kepada masyarakat, baik itu dari LSM maupun akademisi

Memastikan agar ekonomi masyarakat tetap berkelanjutan juga disuarakan oleh Hans Mandacan selaku pelaku dan pengelola ekowisata di Pegunungan Arfak.

“Semua harus berkelanjutan, karena itu hutan harus tetap dijaga, karena bagi kami hutan dan segala isinya adalah atm dan mesin uang yang selalu mencetak uang bagi masyarakat,” ucap dia.

ICBE 2018 hari terakhir, Rabu (10/10/2018) akan membicarakan kemitraan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan serta proses kebijakan dan kemitraan global sebelum penutupan. Menurut rencana akan diadakan 3 sesi parerel serta 2 sesi pleno sebelum penutupan dilangsungkan.

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved