Search
Close this search box.
EcoStory

Masyarakat Lakahia Berkomitmen Melindungi Wilayah Adat

Bagikan Tulisan

Pulau Lakahia yang berada di Distrik Teluk Etna terletak agak jauh dari Ibu Kota Kaimana. Untuk menuju ke sana, satu-satunya jalur yang bisa dilewati adalah melalui laut. Masyarakat bisa memilih menggunakan perahu motor tempel dengan waktu tempuh 5-6 jam atau kapal Sabuk Nusantara dengan waktu 10-12 jam.  

Lakahia memiliki luas 27.895,63 hektare. Untuk mengelilingi pulau ini, kita cukup berjalan kaki selama satu jam atau menumpang perahu motor selama 20-30 menit. Meski termasuk pulau kecil, masyarakat di sana sangat menyadari pentingnya pengakuan wilayah. Terlebih, ada isu pemekaran wilayah Etna menjadi kabupaten beberapa tahun ke depan. “Kalau Etna dimekarkan menjadi kabupaten, akan ada banyak orang yang masuk dan aktivitas yang sangat padat yang berpengaruh terhadap katong (kami) pu wilayah,” kata Tetua Adat Lakahia, Melikianus Tenawe.

Baca Juga: Buah Manis dari Jalan Berliku Masyarakat Pertahankan Wilayah Adat

Jika tanah mereka tidak diakui oleh pemerintah, masyarakat khawatir akan ada konflik di masa mendatang. Padahal, tanah mereka adalah sumber penghidupan, tempat di mana mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk mengantisipasi hal tersebut, masyarakat bersepakat akan melakukan pemetaan partisipatif wilayah adat dengan dukungan EcoNusa sebagai bagian dari perlindungan wilayah dan masyarakat adat. 

Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat

Sebelum pemetaan wilayah adat dilakukan, tim EcoNusa melakukan proses free, prior, and informed consent (FPIC) atau persetujuan informasi di awal tanpa paksaan pada 9 Juni 2024. FPIC adalah hak khusus yang diberikan kepada masyarakat adat yang diakui dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP). FPIC mengizinkan masyarakat adat untuk memberikan atau menahan atau menarik persetujuan, kapan pun, terkait kegiatan yang berdampak pada wilayah mereka. FPIC memungkinkan masyarakat adat untuk terlibat dalam negosiasi guna menentukan desain, implementasi, pemantauan, dan evaluasi kegiatan. 

Dalam pertemuan FPIC tersebut, masyarakat dari lima perwakilan sub suku marga yang mendiami Lakahia, yakni Owapi, Motarimarra, Umuwae, Eparipi, dan Otaripiti menyatakan komitmen mereka untuk melakukan pemetaan wilayah adat, baik area laut maupun darat. Lima sub suku tersebut mewakili 13 marga, yaitu Nay, Onoma, Aribu, Werbay, Gofa, Amerbay, Tenawe, Ayambi, Waterpauw, Esnu, Mairuma, Muaripi, dan Atiamona. 

Baca Juga: 7 SK Pengakuan Wilayah Adat Diserahkan kepada 7 Marga di Klafyo dan Waimon

Salmon Nay dari perwakilan adat kampung mengatakan kesepakatan pemetaan wilayah adat ini merupakan salah satu cara mereka untuk meminimalisir masalah dengan kampung sebelah. “Kami semua setuju dengan kesepakatan ini, agar tidak ada lagi konflik batas wilayah masyarakat antarkampung tetangga. Dan saya percaya pemetaan wilayah adat yang difasilitasi oleh Bapa-bapa dari EcoNusa adalah sepenuhnya untuk melindungi wilayah kami di Lakahia,” ujarnya. 

Setelah kesepakatan bersama tersebut, dibentuklah tim pemetaan dari masyarakat. Tim terdiri dari tim sosial dan tim spasial. Mereka melakukan pemetaan wilayah adat pada 10-24 Juni 2024. Dalam pemetaan wilayah ini, masyarakat dari kampung tetangga juga diikutsertakan untuk menyepakati batas-batas wilayah. Setelahnya juga akan diadakan sidang adat bersama marga-marga tetangga tersebut untuk menyetujui peta yang telah dibuat bersama. 

Kekayaan Alam Lakahia

Walaupun kecil, Pulau Lakahia kaya akan sumber daya alam, baik di darat maupun di laut.  Masyarakat memanfaatkan lahan di pulau kecil ini untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Mereka menanam berbagai jenis tumbuhan untuk dikonsumsi, seperti kelapa, durian, mangga, pinang, kasbi (singkong), petatas (ubi), langsat, kedondong, lemon, sagu, jambu, nangka, tebu, dan ketapang. Selain menangkap ikan, masyarakat juga memelihara ayam untuk mencukupi kebutuhan protein mereka. 

Untuk area pesisir dan perairan, Lakahia memiliki ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Di kawasan hutan mangrove tersebut terdapat beragam spesies, seperti bakau (Rhizophora Sp.), lacang (Bruguiera Sp.), api-api (Avicennia Sp.), pidada putih (Sonneratia alba), Ceriops Tagal, nipah (Nypa fruticans), petatas pantai (Ipomoea pes caprae). Selain mencegah erosi dan abrasi pantai, hutan mangrove tersebut juga menjadi area penting untuk perkembangbiakan ikan, udang, dan berbagai hewan laut lain.  

Baca Juga: Ancaman Kerajaan Ikan di Kaimana

Masuk ke perairan, Lakahia memiliki sumber daya laut yang melimpah. Ada ekosistem padang lamun dengan dua jenis tanaman, yakni Syringodium isoetifolium dan Thalassia hemprichii. Kawasan lamun dan ekosistem di sekitarnya menjadi tempat bermain ikan-ikan. Di area perairan ini, masyarakat biasa menjumpai ikan lema (kembung), tengiri, kakap merah, kepiting, teripang, dan duyung yang muncul setiap hari di pesisir. Juga berbagai kerang-kerangan yakni lola, batulaga, dan kima. Lakahia juga merupakan jalur perlintasan mamalia laut (cetacean) dan penyu belimbing. 

Semua kekayaan tersebut dijaga dan dimanfaatkan masyarakat secara bijak. Mereka hanya boleh mengambil hasil alam secukupnya. Pemetaan merupakan salah satu upaya masyarakat untuk menjaga sumber daya alam. Setelah, proses pemetaan wilayah adat yang dilakukan secara partisipatif di kampung, proses selanjutnya adalah mengusulkan wilayah adat untuk diakui oleh pemerintah daerah melalui Surat Keputusan Bupati Kaimana. Proses ini akan berjalan bersama dengan pendampingan dari EcoNusa untuk mengembangkan inisiatif ekonomi yang berkelanjutan seperti pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan hasil perikanan. 

Editor: Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved