Kopi mulai menjadi komoditas yang sedang naik daun di Tanah Papua. Hal ini terlihat dari antusiasme masyarakat terhadap kopi Papua pada Festival Kopi Papua kedua yang berlangsung pada 21-23 November 2019 di Jayapura yang dihadiri oleh 40 stan. Melansir jubi.co.id, Piter Tan, pemilik kedai kopi Pits Corner, menyatakan Festival Kopi Papua pertama tahun 2018 menambah kenaikan jumlah kedai kopi hingga dua kali lipat, dari belasan kedai kopi hingga 30-40 kedai kopi. Masih menurut Tan, kenaikan itu juga terjadi pada jumlah pemuda asli Papua yang menjadi peracik kopi atau barista.
Titus Rawai, Ketua Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) Kampung Manainin, Distrik Kosiwo, Kabupaten Kepulauan Yapen, hadir mewakili petani kopi Ambaidiru. Tak seperti sebelumya, kali ini dia membawa 75 kilogram green bean dan 50 kilogram kopi bubuk. Menurut Titus, semua kopi bubuk terjual habis. Sayangnya, tidak seperti di Festival Kopi Papua pertama, lelang kopi kali ini urung terjadi.
Festival kopi berlangsung sejak jam 9 pagi. Meski jadwal festival berakhir hingga jam 11 malam, pengunjung baru benar-benar meninggalkan halaman Bank Indonesia Perwakilan Papua pada jam 12 malam. Berbenah stan pameran, Titus baru merebahkan punggung di penginapan pukul 1 dini hari.
“Hari terakhir tidur jam 3 pagi. Jam 4 harus bangun lagi karena jam 5 harus lapor di Bandara Sentani. Dari sana naik Trigana butuh 1 jam 20 menit ke Serui. Untunglah di hari terakhir ada banyak pengunjung yang memesan kopi Ambaidiru untuk dibawa sebagai buah tangan,” kata Titus.
Keberadaan perkebunan kopi di Tanah Papua telah berlangsung sejak awal abad ke-20. Hal ini dipengaruhi oleh masuknya para misionaris dalam mengabarkan Injil. Kedatangan mereka sekaligus membawa pola konsumsi baru yang tak dikenal masyarakat setempat sebelumnya. Mengutip Kompas.id, The Sumatera Post edisi 20 April 1929 mencatat bahwa penanaman kopi di Ambaidiru dilakukan oleh Zending DC Bout.
“Selain kopi, di sini dulu disuruh tanam anggur putih, tanaman yang tidak sesuai dengan pola konsumsi masyarakat. Waktu tahun 80-an saya masih merasakan anggur putih dibawa dari sini,” ujar Yohanis Wanane, warga Kota Serui yang menjabat Fasilitator Pertanian Program Pembangunan Desa Mandiri (PPDM) Kabupaten Yapen.
Menurut Yohanis, demplot pengembangan bibit kopi berada di tengah Kota Serui, bekas bandara lama Kota Serui. Selain kopi, ada juga vanili dan cengkeh. Dari sana bibit kopi lantas dibawa menggunakan noken ke Ambaidiru hingga Jayapura. Saat ini terdapat tiga kebun kopi di Ambaidiru: Kakupi, Paputum, dan Kitun.
Perkebunan kopi mulai berkembang pada 1957-1959, saat Papua masih berada di bawah bendera Belanda. Saat itu luas lahan kopi mencapai 81,27 hektar. Berdasarkan profil Kopi Ambaidiru yang dikeluarkan oleh BUMKam Manainin, pengembangan budi daya kopi terjadi dalam beberapa tahap. Pemerintah daerah mulai mengembangkan kopi robusta Klon BP 42 dan BP 528 sejak tahun 2004 hingga kini.
Menurut Yafet Rawai, Kepala Kampung Manainin, Distrik Kosiwo, Kabupaten Kepulauan Yapen, pengelolaan kebun kopi diwariskan secara turun-temurun. Yafet mewariskan kebun kopi miliknya kepada empat anak tertua. Anak pertama hingga ketiga mendapat lahan seluas 5.000 meter persegi dan anak keempat mendapat lahan seluas 3.000 meter persegi. Selain kopi, Yafet juga menanam sayur kol, cabai, labu, sawi, kacang panjang, buncis, daun bawang, dan seledri, di lahan berbeda. Ini juga dilakukan oleh masyarakat Ambaidiru lainnya.
Editor: Nina Nuraisyah