Sama seperti daerah lain di Indonesia, Tanah Papua juga memiliki pangan khas dan budaya mengolah pangan secara tradisional. Charles Toto atau akrab disapa Chato merupakan seorang koki dari Papua yang giat mempromosikan kuliner khas Papua. Ia juga pemilik Ungkea Jungle Resto yang khusus menyajikan hidangan khas Papua yang dimasak secara otentik berdasarkan kebiasaan orang-orang setempat.
Beberapa waktu lalu, tim EcoNusa berkunjung ke restoran ini untuk menggali lebih dalam kuliner Tanah Papua dari Chato. Setelah berjalan kaki kurang dari 10 menit melalui jalan setapak di hutan sagu di Kampung Kwadeware, Distrik Waibu Kabupaten Jayapura, Papua, terlihat dua pondokan. Sebuah papan kecil bertuliskan “Ungkea Jungle Resto” tampak di depan pondokan itu.
Ungkea Jungle Resto, Mengadopsi Budaya Memanen Sagu di Sentani
Ungkea Jungle Resto berada di hutan sagu yang mengelilingi Danau Sentani. Kawasan ini terkenal sebagai salah satu wilayah pusat pertumbuhan sagu di Tanah Papua. Dalam buku berjudul Sagu untuk Dunia, tertulis hutan sagu di sekitar Danau Sentani luasnya sekitar 4.000–5.000 hektare dengan 17 varietas dan 10 subvarietas sagu yang tumbuh di wilayah ini.
Mempertahankan budaya pangan orang Papua merupakan semangat yang melatarbelakangi Ungkea Jungle Resto. Lokasi dan konsep restoran ini juga mengadopsi budaya masyarakat setempat ketika memanen sagu. Pondokan yang berdiri di tengah hutan sagu mengadopsi kebiasaan orang-orang Papua yang membuat pondok di tengah hutan sebagai tempat beristirahat ketika memanen sagu.
Sambil menunjukkan beberapa menu makanan khas Papua yang terhidang, Chato menuturkan hampir seluruh bagian dari restorannya, mulai bangunan hingga masakan, yang memanfaatkan pohon sagu.
“Sagu ini punya banyak kegunaan. Pondokan ini dibuat dari batang, kulit, dan daun sagu. Makanan hampir seluruhnya dari sagu. Itu (sagu bungkus) ouw khas Sentani yang juga dibuat dari sagu,” ujarnya.
Beras dan Minyak Goreng Bukan Identitas Orang Papua
“Sejak 1997 saya sudah memulai food mapping,” Chato mengawali ceritanya. “Di sela-sela kesibukan membawa tamu, saya selalu catat banyak tanaman di tiap daerah.”
Food mapping adalah salah satu kegiatan yang dilakukan untuk memetakan bahan makanan yang digunakan suku-suku di Tanah Papua. Sudah ada ratusan jenis tanaman yang didokumentasikan Chato. Namun daftar tersebut diakuinya masih berantakan karena ia tidak mampu melakukan klasifikasi sendirian.
Ratusan perjalanan yang ia lakukan memperkuat pandangannya terhadap identitas pangan orang Papua. Menurutnya, identitas pangan orang Papua bukanlah beras, melainkan sagu. Dan identitas itu perlu dilestarikan. “Masyarakat Indonesia, khususnya Papua, harus lebih mencintai pangan lokal. Dari data yang saya pelajari, sagu lebih banyak di sini,” lanjutnya.
Di tengah perbincangan, ia menyampaikan kekhawatirannya terhadap kelestarian hutan sagu di Tanah Papua yang semakin terancam karena konversi lahan. Ia mencontohkan ancaman dari pengembang yang sewaktu-waktu dapat menyulap hutan sagu di sekitar Ungkea Jungle Resto menjadi komplek perumahan. Ia juga menyentil mega proyek food estate di Tanah Papua yang pernah gagal di Merauke, namun justru diulang kembali oleh pemerintah.
“Sagu harus disejajarkan dengan pangan lain di Indonesia seperti beras. Kami berharap sagu ,ini didorong sebagai pangan utama. Mari angkat Papua lewat sagu bukan menggantikan itu dengan tanaman lain yang bukan jati diri orang Papua, dengan sawah, sawit, dan lain-lain,” ia menegaskan. Selain sagu, Chato mengatakan orang Papua juga mengonsumsi sumber karbohidrat dari tanaman lain, seperti gandum, sorgum, dan foxtail millet (juwawut, atau sejenis sereal) yang ada di Biak Numfor.
Di samping persoalan pangan pokok, menurutnya belum banyak orang yang mengetahui ciri khas lain dari pangan khas Papua. Masyarakat Papua sejak dulu memiliki pola memasak tradisional yang efisien. Semua bahan dimasak bersamaan dalam prosesi bakar batu. Hal itu yang membedakan proses memasak dengan daerah lain di Indonesia.
“Orang Papua tidak memiliki budaya menggoreng. Secara tradisional kami punya cara sendiri untuk mengeluarkan minyak dari masakan. Dengan bakar batu, kami menyusun makanan supaya daging itu bisa kasih keluar minyak. Makanya itu, kalau ada banyak kebun sawit, kita tidak tahu itu untuk siapa,” papar Chato.
Jalan Panjang Gastrodiplomacy
Memperkenalkan sagu sebagai identitas orang Papua menjadi salah satu misi gastrodiplomacy Charles Toto. Beberapa kali ia menyebutkan istilah gastrodiplomacy untuk menyebut usaha yang ia lakukan untuk mempromosikan kuliner Papua di kancah nasional maupun internasional. Dalam ilmu hubungan internasional, gastrodiplomacy merupakan upaya yang dilakukan suatu negara dengan mengekspor warisan kuliner sebagai bagian dari diplomasi publik. Tujuannya meningkatkan popularitas produk nasional. P. S. Rockower, dalam tulisannya Recipes for Gastrodiplomacy, mendefinisikan gastrodiplomacy sebagai ‘upaya memenangkan hati dan pemikiran melalui perut.’
“Waktu itu saya ke Turin, Italia. Saya ikut konferensi pangan bersama koki-koki dari seluruh dunia. Tujuan saya hanya satu, saya ingin perkenalkan pangan Papua. Untuk berangkat, saya cari uang sendiri. Saya masak-masak di banyak gereja untuk mengumpulkan donasi. Saya juga investasi sahabat (membangun network) dengan banyak orang. Tujuannya hanya satu, agar masakan Papua dikenal dunia,” kata Chato.
Chato yakin sagu dan makanan Papua lain berpotensi besar untuk mendapatkan atensi di kancah internasional. Ia merujuk pada ketertarikan Jepang pada sagu Indonesia. “Orang Jepang mulai serius mengkaji sagu karena kandungan gizinya yang lebih sehat dari beras. Seharusnya sagu bisa dikelola secara serius oleh pemerintah. Bukan malah digantikan dengan yang lain,” pungkas Chato.
Editor: Leo Wahyudi & V. Arnila Wulandani