Pendidikan lingkungan pada anak muda merupakan hal yang krusial. Pasalnya, pemuda merupakan sosok yang akan mengambil kebijakan di masa depan. Tanpa pemahaman lingkungan yang baik, keberlangsungan hutan dan kepastian lingkungan hidup yang layak sesuai amanat konstitusional adalah hal yang tidak mungkin diraih.
“Investasi untuk anak muda ini jadi penting karena dalam 10 hingga 15 tahun ke depan mereka akan jadi orang yang menjaga hutan kita,” ucap Ketua Yayasan EcoNusa Indonesia, Bustar Maitar dalam peluncuran program School of Eco Diplomacy, di Taman Arboretum, Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Selasa (4/9).
Turut hadir dalam peluncuran tersebut Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BP2SDM) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Helmi Basalamah serta Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Papua (Unipa) Jimmy Wanma. Dalam Eco Diplomacy, 30 pemuda pilihan dari seluruh Indonesia akan mengikuti rangkaian kegiatan untuk menumbuhkan kesadaran kritis mengenai isu hutan dan lingkungan dan menciptakan kader muda yang memiliki nilai-nilai keberpihakan pada masyarakat.
“Agen perubahan ini diharapkan menjadi garda terdepan yang menyuarakan permasalahan lingkungan dan hutan di wilayahnya masing-masing, menggerakkan dukungan publik secara positif, dan selanjutnya berperan serta aktif dalam pelestarian hutan dan lingkungan serta membina kader muda lainnya untuk menggulirkan dan mengembangkan inisiatif yang sama,” terang Bustar.
Dalam program ini, 70 persen peserta berasal dari wilayah Timur Indonesia. Bustar menjelaskan kondisi hutan di Papua saat ini yang menjadi garda terakhir hutan hujan tropis di Indonesia perlu mendapat perhatian khusus.
“Kalau tidak bisa kita kelola dengan baik, maka akan habis hutan kita. Hutan di Papua ini bukan hanya milik Papua saja, tapi milik Indonesia,” ucap dia.
Saat ini, berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pendataan hutan di Papua dan Papua Barat terakhir pada 2010 menyebutkan hutan di Papua mencapai 40,5 juta hektare. Angka tersebut akan terus berkurang oleh deforestasi dan aktivitas konversi hutan menjadi kawasan industri maupun perkebunan.
Oleh karena itu, lulusan angkatan pertama Eco Diplomacy diharapkan dapat memberikan sumbangsih yang nyata khususnya terhadap hutan Papua. Hal itu dikatakan oleh Jimmy Wanma.
Sebagai seorang akademisi, dirinya menyebut tidak adanya penelitian lanjutan terhadap kawasan Low Land forest di Papua Barat akan sangat merugikan bagi kawasan tersebut.
“Karena mayoritas dari kawasan tersebut sudah diproyeksikan untuk pembangunan, makanya sekarang tugas bersama untuk kita menjaganya dan bisa melakukan sesuatu di sana,” ucap dia dalam kesempatan yang sama.
Oleh karena itu, dengan ada Eco Dilomacy, dirinya mengharapkan ada dampak yang turut dirasakan oleh masyarakat Manokwari, Papua Barat. “Mereka akan tinggal dengan masyarakat, tentu itu jadi modal bagus merasakan kehidupan kami di sana,” terang Jimmy.
Sementara itu, Kementerian LHK menyatakan dukungan penuh terhadap program yang diluncurkan di kawasan Kantor mereka.
“Dalam 20 sampai 30 tahun belakangan kita lihat bagaimana kepedulian terhadap lingkungan ini tumbuh. Banyak bermunculan komunitas, gerakan, pegiat serta pengamat lingkungan. Ini adalah bentuk diplomasi dalam wujud baru, people to people context, upaya Yayasan EcoNusa dalam bentuk School of Eco Diplomacy ini patut diapresasi karena ini bentuk upaya langsung dari masyarakat untuk keberlangsungan Lingkungan Hidup dan Kehutanan.” Terang Helmi.
Dirinya menyebut segala bentuk kegiatan yang dilakukan dalam School of Eco Diplomacy dapat menjadi cara dalam menghasilkan local champion dalam isu kehutanan dan lingkungan. Harapannya, local champion ini dapat menjadi international sounding dalam isu tersebut.