Hutan Papua adalah benteng terakhir yang dimiliki Indonesia untuk menghadapi dan mengatasi krisis iklim. Selayaknya benteng yang berperan melindungi kita dari ancaman, kekayaan alam yang tersisa di Indonesia timur ini harus kita rawat dan jaga. Mempertahankannya adalah tugas semua pihak dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari pemerintah, pengusaha, swasta, hingga generasi muda sebagai penerus bangsa.
Namun, sampai saat ini, isu lingkungan belum menjadi sesuatu yang penting dan diperhatikan oleh generasi muda, khususnya di Papua. “Masih banyak anak-anak muda yang terlalu bodo amat. Sekarang itu anak muda keren kalau gayanya bagus, style-nya keren, suka nongkrong,” kata Dessy Boban, Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) Sekolah Anak Indonesia saat ditemui EcoNusa usai pelaksanaan Paparan dan Cerita EcoNusa (PACE) di sekolahnya pada Rabu, 27 April 2022.
Baca juga: Keterlibatan Pemuda Terhadap Krisis Iklim Krusial
PACE yang digelar EcoNusa kali ini bertajuk “Hutan dan Keberlanjutan Generasi Masa Depan” dan diikuti oleh lebih dari 50 peserta dari SAI dari berbagai jenjang dan kalangan, mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga guru-guru.
Dalam kesempatan ini, Nina Nuraisyah, Communication and Youth Mobilization Director Yayasan EcoNusa, berbagi pengetahuan mengenai perubahan iklim, dampaknya terhadap alam Indonesia, serta bagaimana para siswa sebagai generasi muda dapat berperan dalam menjaga alam Tanah Papua dan melawan perubahan iklim untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Nina mengatakan bahwa peran anak muda sangatlah penting dalam upaya bersama melawan krisis iklim. Bila mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tidak dilakukan dari sekarang, bukan tidak mungkin mereka akan mengalami kelangkaan sumber daya alam, kualitas air dan udara yang buruk, dan dampak buruk akibat perubahan iklim lainnya pada masa depan.
Baca juga: Merangkul Pemuda di Tahun Politik
“Sistem pendidikan di Indonesia sudah bagus, namun mimpi barunya adalah bagaimana konteks lokal itu bisa masuk ke dalam proses belajar mengajar di lembaga pendidikan, untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Ini penting karena masyarakat sebenarnya sudah memiliki kearifan lokal dalam mengelola alamnya dan tidak merusak,” ucap Nina.
Hutan Tanah Papua yang kaya terancam oleh deforestasi akibat pengalihfungsian lahan. Data menunjukkan pada 2001-2019, Tanah Papua telah kehilangan hutan seluas 663.443 hektare. Kehilangan tertinggi terjadi pada 2015, yakni sebanyak 89.881 hektare. Hal ini tak hanya berdampak pada hilangnya keanekaragaman hayati, namun juga berkontribusi terhadap pemanasan global yang mengakibatkan krisis iklim.
Fakta miris tentang kian menyusutnya hutan di Tanah Papua yang menjadi penentu masa depan kehidupan generasi muda Papua menjadi perhatian khusus bagi SAI. Hal ini pun yang mendorong SAI untuk mengundang EcoNusa hadir dan berbagi pengetahuan dengan para siswa, tentang betapa pentingnya untuk menyeimbangkan kehidupan manusia dan alam. “Supaya antara alam dan manusia khususnya dalam pembangunan ekonomi masyarakat itu benar-benar menjadi ekosistem yang terbangun dan menghasilkan keuntungan. Bukan hanya manusianya saja yang untung, tapi juga alamnya,” ucap Yanto.
Baca juga: Kolaborasi EcoNusa dan Pramuka untuk Lingkungan Berkelanjutan
Dalam kegiatan belajar mengajarnya sehari-hari, kata Yanto, SAI memiliki kurikulum khusus yakni Pengkajian Budaya Papua dan Modernisasi. Melalui kurikulum ini, materi-materi pembelajaran diberikan dengan pendekatan yang lebih holistik dan disesuaikan dengan kondisi alam dan budaya Tanah Papua.
“Kami berharap anak-anak itu mengetahui semua potensi alamnya. Selain bisa memanfaatkan, mereka juga menjaga alamnya. Untuk apa? Ya untuk keberlanjutan generasi mereka selanjutnya,” jelas Hani Hamidah, salah seorang guru SAI.
Hani juga mengatakan bahwa tantangan yang dihadapi para pendidik di SAI adalah menyadarkan para murid untuk menjaga alamnya. Banyak para peserta didik sudah sadar akan pentingnya alam dan ancaman yang dihadapi hutan di Tanah Papua. Namun agar mereka mau ikut andil dan mengambil aksi masih perlu didorong dan diberi stimulus. Untuk itu, perlu adanya dorongan yang konsisten dari para pihak, khususnya pendidik untuk menumbuhkan kesadaran tersebut.
Baca juga: Kampanye Lingkungan Kaum Muda di Dunia Digital
Bagi Dessy dan orang-orang Asmat lainnya, hutan adalah ibu yang menjadi sumber kehidupan. Mereka mendapatkan sumber makanan, obat-obatan, juga ilmu pengetahuan dari alam.
Pentingnya peran dan kontribusi dari generasi muda memang sesuatu yang tak dapat dielakkan dari upaya melindungi dan memelihara alam Tanah Papua, guna memitigasi dampak ancaman perubahan iklim yang ada di depan mata. Dessy yang mewakili generasi muda pun mengamini hal tersebut.
“Kalau menurut sa, anak muda seharusnya punya peran yang lebih besar untuk masalah lingkungan, apalagi yang di Papua. Sa ingin alam Papua tetap asli, jangan sampai kita lepas kontrol. Segera kita harus lakukan sesuatu agar alam Papua tidak semakin rusak,” tutup Dessy.
Editor: Leo Wahyudi & Nur Alfiyah