Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

COP27 Mesir: Indonesia Memimpin dengan Contoh Indonesia’s FOLU Net Sink 2030

Bagikan Tulisan
Indonesia's FOLU Net Sink 2030

Dalam implementasi komitmen perubahan iklim, Indonesia memimpin dengan memberi contoh (leading by example) terkait dengan keseimbangan emisi sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya atau Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.

Hal ini disampaikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Siti Nurbaya Bakar, dalam sesi World Climate Leaders’ Insight on Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, di Paviliun Indonesia COP27 di Sharm El-Sheikh, Mesir, pada 9 November 2022.

“Indonesia kini menjadi salah satu negara dengan tingkat deforestasi terendah. Ini komitmen Indonesia yang berbasis bukti, bukan semata janji, sebagai kontribusi aktif Perjanjian Paris dan Pakta Glasgow,” kata Siti, seperti dilansir laman resmi KLHK

Dalam sesi tersebut, sektor FOLU (Forestry and Other Land Use) menjadi salah satu fokus utama pencapaian NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia untuk menanggulangi perubahan iklim. Dalam upaya ini, Indonesia mendapatkan dukungan dari tiga negara maju, Inggris Raya, Amerika Serikat, dan Norwegia. 

Baca juga: Kesepakatan Baru Indonesia-Norwegia Bisa Perkuat Pencapaian Target FOLU Net Sink

Apa itu Indonesia’s FOLU Net Sink 2030?

Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 merupakan suatu kondisi dimana tingkat serapan karbon sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya sudah berimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi yang dihasilkan sektor tersebut pada tahun 2030.

Dalam kesempatan itu, Siti juga mengapresiasi peran generasi milenial yang mengawal kebijakan perubahan iklim dari tingkat pemerintah pusat sampai ke tingkat tapak. 

“Kami menghargai dan mendorong peran generasi muda sebagai salah satu stakeholders yang ikut mengawal keberhasilan kebijakan perubahan iklim di Indonesia,” kata Siti Nurbaya.

Pentingnya Ekposur

Dalam COP27 ini berbagai agenda digadang-gadang tidak sekedar membicarakan tentang krisis iklim, tetapi lebih membahas upaya nyata untuk mengatasi krisis. Peran Indonesia cukup dipandang karena laporan penurunan angka deforestasi yang signifikan dan kenaikan target NDC untuk pengurangan emisi pada 2030 menjadi 31,89 persen dengan usaha sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional. 

Selain itu, Indonesia juga telah menorehkan banyak capaian lain. Misalnya, pencabutan izin konsesi perkebunan kelapa sawit yang dikembalikan pengelolaannya ke masyarakat adat seperti di Papua Barat. Pemerintah provinsi bahkan mengeluarkan Peraturan Gubernur yang mengatur tata cara pengakuan wilayah adat dan masyarakat adat.

Di tingkat pusat, pemerintah juga telah mengeluarkan regulasi tentang nilai ekonomi karbon. Pemerintah juga sedang membangun mekanisme perdagangan karbon dengan sistem yang khas Indonesia. Ini termasuk soal penghitungan dan mekanisme sertifikasi sendiri yang diharapkan akan diakui di tingkat internasional. 

Kalau bicara soal karbon, harus ada nilai tambah dalam beragam upaya mitigasi dan adaptasi iklim termasuk juga mekanisme yang diakui. Dalam hal ini pemerintah Indonesia punya banyak peluang untuk membangun landasan dan mekanisme perdagangan karbon di Indonesia. 

Capaian-capaian tersebut perlu eksposur yang lebih besar karena di dunia hanya tersisa tiga hutan hujan terbesar, yaitu Indonesia, Brazil, dan Kongo. Dalam hal ini, Indonesia kurang mendapatkan eksposur sehingga pendanaan yang mengalir ke Indonesia untuk mencapai target NDC juga tidak akan sebesar negara lainnya. 

Karena itu, ketiga negara ini harus membangun narasi tentang pentingnya perlindungan hutan dan masyarakat adat sehingga nantinya akan memiliki posisi tawar yang kuat untuk mendapatkan pendanaan dari negara maju. 

Kita berharap negara-negara global utara (global north countries) memberikan eksposur pendanaan iklim yang besar ke negara-negara global selatan (global south countries) termasuk Indonesia. 

Kunci keberhasilan COP27 adalah ketersediaan pendanaan dari negara-negara kaya. Seperti diketahui, negara kaya dianggap sebagai penghasil polusi tapi kurang melakukan upaya besar sehingga menyebabkan parahnya krisis iklim. Untuk menanggulanginya, setiap bangsa harus bergerak bersama. Tanpa pendanaan yang berarti, negara-negara berkembang tidak akan percaya pada negara maju sehingga aksi kolektif akan gagal. 

Ada tiga jenis pendanaan iklim, yaitu penurunan emisi, adaptasi terhadap dampak iklim, dan dana atas kehilangan dan kerusakan. Banyak negara kaya yang khawatir akan dituntut tanggung jawab pemberian kompensasi atas dampak kehilangan dan kerusakan yang disebabkan krisis iklim. 

Di tengah krisis iklim saat ini, dunia menderita karena kehilangan nyawa dan penghidupan akibat gelombang panas, banjir, kebakaran hutan, dan kekeringan. Semua dipicu oleh krisis iklim yang disebabkan oleh ulah manusia sendiri di planet biru ini.

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved