Manusia adalah entitas yang menjadi bagian dari alam dan seluruh keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kehidupan manusia pun sangat bergantung dan tak pernah lepas dari keberadaan keanekaragaman hayati. Menimbang ketergantungan kita terhadap keanekaragaman hayati, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 22 Mei sebagai sebagai Hari Keanekaragaman Hayati Internasional (International Day of Biodiversity), sebuah hari peringatan yang didedikasikan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dunia tentang pentingnya menjaga kelestarian keanekaragaman hayati.
“Kekayaan alam itu sendiri yang menghidupi kita, menyejahterakan masyarakat,” ucap Marthalia Borumey, Staf Yayasan EcoNusa, ketika membuka live Instagram Cerita #RasaTimur pada 20 Mei 2022 yang membawa tema ‘Cerita dari Penghuni Surga Kecil di Indonesia Timur’.
Aktivasi digital yang menyambut Hari Keanekaragaman Hayati ini menghadirkan Charles Toto, seorang chef yang memopulerkankuliner asli Tanah Papua melalui Papua Jungle Chef sekaligus pendiri Sekolah Pekarangan, dan Yokbet Merauje, Putri Pariwisata Nusantara dan Putri Agrowisata Indonesia tahun 2021.
Baca juga: Cenderawasih dalam Adat Papua, Adik yang Menjelma Menjadi Burung
Sebagai seseorang yang berperan besar dalam dunia kuliner Papua, Chef Chato, panggilan akrab dari Charles Toto, melihat bahwa keanekaragaman hayati yang ada di hutan Papua adalah sumber pangan utama bagi masyarakat, terutama yang hidup di sekitar hutan.
“Hutan adalah tempat berbelanja orang Papua tanpa mengeluarkan uang,” ujar Chef Chato.
Oleh karena itu, dia begitu bersemangat untuk melestarikan kuliner lokal khas Papua yang erat kaitannya dengan sumber daya alam yang tersimpan di hutan Papua. Karena baginya, selain melestarikan budaya melalui jalur kuliner, ini juga menjadi bagian dari kontribusinya dalam menjaga hutan dan alam Papua yang kaya.
Chef Chato juga melakukan food mapping di banyak wilayah di Tanah Papua, mulai dari Jayapura, Wamena, Korowai, Biak, Manokwari, Raja Ampat, Kaimana dan kembali lagi ke Jayapura. Ini merupakan sebuah upaya menginventarisasi sumber daya alam yang dapat dijadikan sumber pangan, juga berbagai kuliner asli Tanah Papua yang otentik.
Baca juga: Menke Womom, Bukti Kedekatan Suku Abun dan Sang Dewa Laut
Dari perjalanannya, ia menemukan kae behele atau ikan kuah hitam. Ini adalah kuliner asli Sentani yang terbuat dari ikan kayou, sejenis gabus endemik Sentani yang diolah dengan daun bete dan dimasak selama sembilan jam hingga kuahnya berwarna hitam.
Chef Chato pun bercerita di hutan Papua ada daun yanorakwa, atau dikenal juga dengan nama wo lolas. Daun ini disebut sebagai daun salam Papua yang memiliki cita rasa khas daun salam, namun beraroma sitrus segar. Tak sekadar dijadikan bumbu, daun ini juga banyak dimanfaatkan masyarakat untuk mengobati orang yang terkena racun binatang.
Pada kesempatan ini, Chef Chato juga banyak bercerita tentang Sekolah Pekarangan yang dia inisiasi. Melalui Sekolah Pekarangan, dia mengajak masyarakat sekitar untuk mulai memanfaatkan keanekaragaman hayati yang ada di sekitarnya sebagai sumber pangan. Selain itu, pekarangan juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk membudidayakan tanaman pangan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan menyokong perekonomian keluarga. Dengan begitu, masyarakat dapat memperoleh kemandirian pangan.
Baca juga: Suku Dani Manfaatkan Hutan sebagai Sumber Obat
Yokbet, atau yang akrab disapa Yoke juga mengungkapkan tentang pentingnya melindungi keanekaragaman hayati Tanah Papua. Anugerah keindahan alam Tanah Papua adalah potensi pariwisata berharga yang harus dijaga bersama.
“Papua memiliki potensi wisata kelas dunia, budayanya, alamnya. Tanah Papua adalah tanah yang sangat subur, dan memiliki potensi yang amat besar bagi pariwisata,” ucap Yoke dengan penuh kebanggaan.
Yoke pun mengajak semua masyarakat untuk menjadi wisatawan yang bertanggung jawab saat berkunjung ke destinasi wisata, terutama wisata alam. Dalam kesempatan ini, dia mengimbau orang-orang untuk tidak mengotori dan merusak keindahan destinasi wisata yang ada. Karena sejatinya, menjaga keindahan destinasi wisata adalah tanggung jawab semua pihak. Tak hanya pemerintah dan pengelola bisnis pariwisata, tapi juga kita semua sebagai wisatawan.
Baca juga: Zeth Wonggor, David Gibbs, Pionir Ekowisata (Bagian I)
Alam Tanah Papua adalah rumah bagi 13.634 spesies tumbuhan dengan 68 persen jenis endemik, 125 spesies mamalia, 223 spesies reptil, dan 602 jenis burung termasuk cenderawasih. Data dari Badan Pusat Statistik juga memaparkan bahwa 44,9 persen luasan mangrove Indonesia berada di pesisir Tanah Papua, yakni seluas 1,63 juta hektare dan terdapat 208.239 hektare mangrove di Kepulauan Maluku.
Publikasi di jurnal Nature yang dilakukan oleh peneliti lintas negara pun mendapati bahwa Pulau Papua menggeser posisi Madagaskar sebagai pulau dengan biodiversitas flora tertinggi. Terdapat 13.364 spesies flora dengan 68 persen di antaranya adalah spesies endemik di Pulau Papua, sementara Madagaskar memiliki 11.488 spesies flora.
Tak hanya menyimpan kekayaan sumber daya alam di daratan, Tanah Papua dan Kepulauan Maluku juga memiliki potensi kekayaan laut yang amat tinggi. Perairan Papua dan Kepulauan Maluku merupakan bagian dari segitiga terumbu karang dunia, dan jantung dari segitiga terumbu karang tersebut terdapat di Raja Ampat.
Baca juga: Penyelamatan Hutan Papua dan Maluku Tak Hanya Menyangkut Kelestarian Cenderawasih
Luas ekosistem terumbu karang Kepulauan Maluku sebesar 432.471 hektare, dan perairan Papua sebesar 262.378 hektare dengan kondisi baik. Dalam sektor perikanan sebanyak 92 persen ikan karang berada di bentang laut kepala burung (Bird’s Head Seascape) yang meliputi Raja Ampat, Teluk Cenderawasih, Kaimana, hingga Laut Banda. Laut Indonesia timur juga menyimpan 50 persen stok sumber daya perikanan yang perlu dikelola dengan baik agar tetap lestari.
Gelar Indonesia sebagai negara mega biodiversity karena kekayaan keanekaragaman hayatinya yang amat tinggi memang merupakan suatu hal yang patut kita banggakan bersama. Potensi alam timur Indonesia pun bak harta karun yang tersisa dan harus kita pertahankan eksistensinya demi kesejahteraan masyarakat lokal serta Indonesia secara keseluruhan. Melindunginya adalah tanggung jawab kita bersama.
Editor: Leo Wahyudi & Nur Alfiyah