Selasa, 6 Juni 2023 adalah hari kedua egek dibuka, sekaligus hari kedua digelarnya Festival Egek di Kampung Malaumkarta. Festival Egek adalah festival budaya yang diinisiasi oleh masyarakat adat Moi Kelim di wilayah Malaumkarta Raya yang terdiri dari lima kampung, yakni Malaumkarta, Mibi, Malagufuk, Sawatut, dan Sawatolo. Egek sendiri adalah tradisi masyarakat adat Moi Kelim dalam mengelola dan menjaga sumber daya alam dengan cara mengatur dan memberikan jeda waktu untuk mengambil sumber daya alam di wilayah yang telah disepakati bersama.
Di hari kedua pembukaan egek, masyarakat mengambil hasil laut. “Pagi ini, sa dan beberapa orang suku Moi lainnya mau molo,” ucap James, salah satu warga asli Kampung Malaumkarta pagi itu. Molo adalah cara masyarakat menangkap hasil laut, dengan cara menyelam berbekal masker selam, yang biasa mereka sebut kacamata molo, dan juga alat tangkap tradisional. Cara ini biasa dilakukan oleh masyarakat di Tanah Papua, termasuk oleh masyarakat Moi Kelim. Suku Moi sejak dahulu sudah menggunakan alat tangkap tradisional yang selektif dan tidak merusak ekosistem laut, seperti kalawei atau dalam bahasa Moi biasa disebut tutur, yakni tombak ikan; gate-gate, yakni jerat lobster tradisional; dan juga senapan ikan.
Ketika egek dibuka, tandanya masyarakat diperbolehkan untuk mengambil sumber daya alam, terutama jenis-jenis hasil laut yang diberlakukan egek. Beberapa jenis tersebut antara lain lobster, teripang, dan lola. Saat egek sedang ditutup, masyarakat tidak diizinkan mengambil jenis-jenis tersebut. Mereka hanya boleh mengambil ikan secukupnya saja.
Baca Juga: Catatan Perjalanan: Egek, Budaya Konservasi Tradisional Suku Moi
Waktu terus berjalan, James dan beberapa orang pemuda Moi lain pun mempersiapkan perahu dan alat tangkap untuk molo. Hari itu ada sekitar lima perahu yang dipakai untuk pergi molo. Saya menaiki perahu bersama James, Solaiman, Yustinus, Yotam, Filipus, dan Yohanes. Saat perahu kami sudah berada di tengah laut, tepatnya di wilayah perairan Kawaleng, Yustinus dan Yotam bersiap mengambil kacamata molo. Dalam hitungan menit, mereka langsung mengambil gate-gate dan lompat masuk ke dalam laut. “Buka egek ini, tong (kita) hanya fokus ambil lobster saja, jadi tong tidak ambil lola dan teripang,” kata James.
Setelah menyelam dan memantau dasar laut, tak perlu waktu lama bagi mereka untuk bisa menemukan lobster yang bersembunyi di antara batu karang. Dengan sigap, mereka langsung meluncur mendekati sasaran dan menjeratnya dengan gate-gate. Yotam pun muncul ke permukaan, disusul Yustinus sambil mengangkat hasil tangkapannya. Lobster lalu dilepaskan dari jerat dan dimasukkan ke dalam jaring yang sudah disiapkan.
Setelah dilihat, ternyata lobster yang didapatkan oleh Yustinus memiliki telur di perutnya. “Karena da pu (dia punya) telur, jadi harus tong kasih lepas lagi ke laut,” katanya seraya melepaskan jerat dengan hati-hati lalu melepaskan kembali tangkapannya ke laut.
Baca Juga: Sasi di Pulau Lemon, Inisiatif Anak Muda untuk Menjaga Laut
Tak lama setelah itu, kapal kami bergeser ke sisi perairan Kawaleng lainnya karena titik sebelumnya dirasa sepi tangkapan. Tak lama setelah itu, Yotam dan Yustinus pun kembali melompat ke laut, disusul James dan Solaiman yang juga ikut molo. Secara bergantian, masing-masing dari mereka muncul ke permukaan air sambil membawa hasil tangkapan. Lobster yang ditangkap oleh James ternyata juga harus dilepaskan kembali ke laut karena ukurannya yang masih kecil dan sedang dalam proses berganti cangkang.
Hingga kini masyarakat adat Moi Kelim tetap melakukan penangkapan dengan cara tradisional dengan tetap menjaga alam. Bukan hanya alat dan cara tangkapnya saja, namun mereka juga menentukan tangkapan yang boleh dan tidak untuk diambil dan dimanfaatkan. Hanya lobster dewasa dan tidak sedang bertelur yang boleh diambil. Ini dilakukan demi menjaga kelestarian lobster yang ada di laut. “Bukan cuma untuk laut saja, tapi juga untuk kesejahteraan tong semua, toh,” cerita Solaiman.
Molo dilakukan sejak pagi hingga siang hari. Sebelum kembali ke darat, kami singgah sebentar ke keramba yang terapung di tengah laut untuk mengumpulkan lobster hasil tangkapan. Keramba dibiarkan berada di tengah laut agar saat dijual nanti, lobster tetap dalam kondisi hidup dan segar, sehingga tidak menurunkan nilai jual.
Baca Juga: Praktik Baik dari Timur Indonesia Modal untuk Ekonomi Biru
Kekayaan sumber daya laut yang ada di wilayah perairan Malumkarta bukan sekadar anugerah dari Tuhan. Ini adalah buah manis dari pengelolaan lestari berbasis kearifan lokal yang dipraktikkan oleh masyarakat adat Moi Kelim yang hidup di Malaumkarta Raya sejak dulu kala dan masih dilakukan hingga sekarang. “Tong hidup dari laut, dari alam. Kalau tong pu laut rusak, tong juga yang akan sengsara. Makanya tong harus jaga baik-baik,” tutup Solaiman.
Editor: Nur Alfiyah