“Alam adalah mama yang memberikan kita semua sumber kehidupan dan harus kita jaga,” menjadi sebuah nilai hidup mendasar yang dimiliki dan dijunjung tinggi oleh masyarakat adat, khususnya di Tanah Papua. Adanya pemikiran mendasar yang masih dipercaya dan diamalkan oleh masyarakat di Tanah Papua ini menunjukkan bahwa pada dasarnya, budaya telah lama memiliki peranan besar terhadap upaya melindungi alam dan seluruh keanekaragaman hayati di dalamnya.
Tanah Papua dan Kepulauan Maluku adalah tanah yang kaya, tak hanya biodiversitasnya namun juga budaya. Data Pemerintah Provinsi Papua menunjukkan bahwa setidaknya ada 255 suku asli di Tanah Papua, dan dilansir Kompas.com terdapat 30 suku yang mendiami Kepulauan Maluku. Para masyarakat adat dan lokal telah lama hidup berdampingan dengan alam dan menerapkan tradisi serta kearifan lokal sebagai budaya yang diwariskan sampai sekarang. Pemikiran dan nilai penting dari Indonesia Timur ini disampaikan dalam IDEAFEST 2023 melalui diskusi bertema “Sow and Grow: Grassroot Solutions for a Greener Tomorrow” pada 29 September 2023.
Baca juga: Cerita dan Inisiatif Baik dari Tanah Papua Tersiar di New York Climate Week 2023
Diskusi ini menghadirkan beberapa narasumber, di antaranya adalah pegiat Sekolah Tani Muda Dipa Satrialelana, General Manager Hutan Itu Indonesia Christian Natalie, Advisor Junglo Irma Sitompul, dan CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar. Semua pembicara hadir dan berbagi cerita tentang solusi-solusi yang bisa kita dukung dan lakukan guna menciptakan masa depan bumi yang lebih baik dan berkelanjutan.
“Kalau kita bicara menjaga alam, khususnya di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku, itu artinya yang berada di garda terdepan adalah masyarakat adat itu sendiri,” kata Bustar Maitar, CEO Yayasan EcoNusa kepada para peserta diskusi. Bustar memaparkan bahwa meskipun kita hidup di wilayah perkotaan dan jauh dari hutan maupun laut, tapi kita turut merasakan manfaat dari adanya hutan dan laut yang sehat, mulai dari menjaga iklim yang stabil, ketersediaan sumber hidup seperti air bersih, udara bersih, ketersediaan sumber pangan, maupun hal-hal yang menopang kehidupan kita sebagai manusia. Oleh karenanya, kita harus mendukung masyarakat adat yang menjadi garda depan perlindungan alam.
Bustar lebih lanjut menjelaskan bahwa sebagian dari hutan yang berada di wilayah Indonesia Timur, khususnya Tanah Papua dan Kepulauan Maluku terancam oleh ekspansi lahan konsesi, yang tak jarang menimbulkan kerugian bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang ada di sana. “EcoNusa bersama Pemerintah Daerah melakukan evaluasi perizinan perkebunan sawit yang berbuah pencabutan hak konsesi seluas dua setengah kali kota Los Angeles. Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah mendukung masyarakat adat dalam melakukan pemetaan wilayah adat, sehingga mereka bisa mendapatkan kembali haknya untuk mengelola tanah adat secara lestari sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya secara lestari. Masyarakat adat juga diberdayakan dan diberikan kapasitas sehingga bisa mengelola wilayah adatnya baik hutan maupun wilayah pesisir, agar mereka bisa mendapatkan manfaat ekonomi dari sana,” ujarnya.
Christian Natalie membeberkan data hasil survey yang dilakukan oleh HII terhadap 50 ribu responden berusia di bawah 35 tahun menunjukkan bahwa delapan dari sepuluh orang berpendapat bahwa hutan Indonesia memprihatinkan. Namun begitu, sebagian besar dari mereka tidak menyadari kalau degradasi hutan yang terjadi disebabkan oleh aktivitas manusia. “Hal ini memperlihatkan bahwa masih banyak orang yang merasa tidak memiliki konektivitas dengan alam, khususnya hutan. Padahal, kehidupan manusia, baik masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam namun juga yang hidup di wilayah urban, sangat bergantung dengan alam, baik itu hutan maupun laut,” kata Tian.
Baca juga: Catatan Perjalanan: Kekompakan Suku Ireres Melindungi Wilayah Adat
Senada dengan Christian, Irma Sitompul bercerita bahwa meskipun tinggal jauh dari hutan, kita bisa menciptakan hutan kita sendiri. “Kita bisa membuat hutan di halaman rumah kita menggunakan metode miyawaki, ini adalah metode dari Jepang untuk mengembalikan hutan dan kehidupan yang hilang guna memperbaiki kondisi iklim yang ada. Setidaknya kita bisa menyediakan suplai udara bersih dari halaman rumah kita sendiri,” ucap Irma.
Dipa Satrialelana yang memiliki minat di bidang pertanian memilih untuk mengambil peran dalam melawan krisis iklim dengan agro-ecology, sebuah metode pertanian yang mempertimbangkan rantai ekosistem dan karakter masing-masing biota yang ada di kebun. “Ketika kita sudah mengetahui sifat masing-masing makhluk hidup, kita bisa mengetahui tanaman apa saja yang bisa ditanam di kebun, memaksimalkan hasil panen, dan mengurangi atau bahkan sama sekali tidak lagi perlu menggunakan pupuk kimia atau anti-hama. Pangan yang kita konsumsi jadi lebih sehat, dan sudah pasti ramah lingkungan,” kata Dipa menjelaskan.
Berbagai kisah, cerita, pandangan, dan perspektif tentang solusi menuju masa depan berkelanjutan yang diberikan oleh masing-masing pembicara membuahkan respons yang sangat positif dari para peserta. Salah satunya datang dari Farid yang merasa dirinya mendapatkan banyak pengetahuan baru, terutama tentang potensi alam yang ada di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku. “Saya jadi semakin tahu kalau ‘benteng alam terakhir’ untuk melawan perubahan iklim ada di daerah Indonesia timur. Dengan segala kekayaan di sana, ada banyak praktik ekonomi yang bisa dilakukan tanpa harus merusak ekosistem, salah satunya dengan menerapkan kearifan lokal yang ada,” kata Farid.
Baca juga: Festival Egek, Menjaga Alam dan Warisan Leluhur Suku Moi
Dampak perubahan iklim kian hari kian terasa, mulai dari kenaikan suhu bumi, cuaca ekstrim, kenaikan permukaan air laut, krisis air bersih dan krisis pangan akibat gagal panen, dan masih banyak lagi. Krisis iklim adalah pekerjaan rumah besar yang harus kita selesaikan bersama-sama, sehingga menjamin masa depan kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan.
Menurut Bustar, untuk menciptakan perubahan kita harus terjun dan ikut berperan langsung dalam upaya mewujudkannya. Oleh karena itu, bila berbicara tentang menjaga alam, penting bagi kita ikut bergerak bersama masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai garda terdepan, sambil merangkul budaya, kearifan lokal dan pengetahuan lokal yang menjadi dasar dan nilai hidup mereka yang hidup berdampingan dengan alam. “Kita harus menjadi bagian dari perubahan yang kita mau dorong. Tidak ada namanya perubahan yang sifatnya remote control. Jadi mari kita bersama-sama dengan segala kekuatan dan kemampuan yang kita punya, bahu membahu, baku gandengtangan, untuk jaga alam dan menyelamatkan kehidupan kita,” tutup Bustar.
Editor: Swinny Adestika