Perempuan di Kampung Tanggaromi itu kelihatan sudah berumur. Namun kegesitannya menunjukkan semangat hidup yang tak tak pernah padam. Di bawah teriknya matahari Kaimana, ia berteriak untuk menyapa para tetangganya yang siap bekerja dan membuka lapak di pasar Tanggaromi, Perempuan itu juga menghentikan langkah kakinya untuk sekedar mengobrol dengan para supir taksi yang membantu Mama-Mama jika ingin pergi ke Kota Kaimana.
Perempuan yang kerap disapa Mama Mathilda ini kini sudah berumur 62 tahun. Tapi, usia bukan penghalang kerja keras dalam hidupnya. Setiap hari ia masih ke luar rumah untuk berdagang di pasar. Ia kadang pergi ke kebun pisangnya yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Kampung Tanggaromi, Distrik Kaimana, Provinsi Papua Barat. “Panas tidak menghalangi kami bekerja. Kami sudah terbiasa dengan panas seperti ini,” kata Mathilda.
Siang itu, Mathilda mengajak tim EcoNusa mengunjungi kebun pisangnya. “Pisang itu tidak pakai musim. Pisang selalu laku di setiap bulan. Pisang berbuah tidak sekaligus. Sehari bisa 5 gantung,” katanya. Ketika ia harus menjual hasil kebunnya itu, Mama Mathilda tidak membedakan harga pisang berdasarkan jenis-jenisnya. “Bagi saya, semua pisang sama. Entah itu Pisang Dewaka atau Pisang Raja, semua sama. Beli 1 sisir harganya 10 ribu rupiah. Tapi kalau saya jual ke kota, harganya naik jadi 25 ribu rupiah setiap sisirnya,” katanya sambil tertawa kecil.
Mathilda sering menjual hasil perkebunan pisang ke Timika. “Kalau dibawa ke Timika, ada penadah di sana. Kadang penadah minta beberapa sisir. Jika dari kebun sendiri kurang, saya beli ke kebun yang lain,” katanya. Mama Mathilda menceritakan bahwa ia juga sering membantu tetangga-tetangganya yang masih awam dalam bisnis perkebunan pisang ini. “Saya tidak mau mereka dibodo-bodohi. Selalu saya ajarkan mereka, jangan jadi orang bodoh. Bodoh gampang celaka,” kata Mathilda.
“Saya besar di kota. Saya sekolah di kota sampai tahun 2006. Setelah itu saya baru balik ke kampung untuk mengurus perkebunan yang saya miliki. Walau besar di kota, bukan berarti saya tidak bisa berkebun. Itu warisan orang tua saya yang masih akan saya pegang teguh,” kisah Mathilda. “Kesembilan anak saya sekarang tinggal di Timika. Mereka semua juga bisa berkebun. Kadang mereka mengunjungi saya, atau kadang saya mengunjungi mereka. Ganti-gantian saja.”
Ditinggal suami menghadap Sang Khalik pada 2005 tidak membuat Mama Mathilda menyerah. “Saya punya sembilan anak yang masih menghubungi saya setiap hari. Mereka bahkan mengomel jika ponsel saya rusak dan kadang mereka ingin belikan ponsel yang bagus. Tapi saya menolak. Bagi saya, selama ponsel saya bisa menelfon dan mengirim sms itu sudah cukup. Selama bisa menghubungi mereka, itu cukup sudah,” katanya.
Ditanya arti pisang bagi Mama Mathilda, ia menjawab dengan enteng. “Sudah pasti itu kehidupan. Pisang tidak tergantikan. Kita sudah tanam pisang, hasil panen kita jual, kita dapatkan uangnya. Senang toh? Uang itu bisa kita gunakan untuk beli beras, beli gula, beli baju, beli pakaian dalam. Pisang itu memberikan saya kehidupan.”