Kekayaan alam di Papua Barat tidak pernah habis. Selain memiliki keindahan alam yang luar biasa, Papua Barat memiliki hutan mangrove yang luasnya mencapai lebih dari 400 ribu hektar. Hutan mangrove (bakau) merupakan tipe hutan yang tumbuh pada daerah pinggir pantai yang pasang surut tergenang dan bebas genangan air laut.
Hutan mangrove memiliki banyak manfaat, seperti menyerap karbondioksida untuk mengurangi pemanasan global, sebagai ekosistem utama kehidupan biota laut, menahan gelombang pasang dan abrasi pantai, menyerap limbah, dan bermanfaat bagi masyarakat. Masyarakat juga dapat memanfaatkan hutan mangrove untuk kehidupan sehari-hari, seperti memanfaatkan kayu, daun hingga buahnya.
Dikutip dari nasional.kompas.com, dari 438.252 hektar hutan di Papua Barat, hanya 4% yang mengalami kerusakan. Salah satu hutan mangrove yang masih terjaga keasliannya berada di Kampung Friwen dan Yenbeser yang terletak di Kecamatan Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat.
Masyarakat memang belum memanfaatkan dengan maksimal potensi hutan mangrove di wilayahnya. Masyarakat di sini lebih memilih menjadi nelayan. Hasil tangkapannya digunakan untuk makan sehari-hari dan sisanya dijual ke Ibukota Kabupaten, Waisai.
Warga kampung Friwen, Beksimayor mengatakan kegiatan lain yang dilakukan oleh masyarakat selain mencari ikan adalah berkebun dan usaha homestay. Saat ini masyarakat mulai mengembangkan usaha di bidang pariwisata, yaitu dengan membangun homestay. “Kami tanam rica, tomat, ubi-ubian, di kebun pribadi di belakang. Ada juga timun dan terong. Kami mulai menanam pada Maret dan tiga bulan kemudian sudah 3 kali panen. Hasil panen biasa dijual di homestay Kampung Mansuar,” ujarnya.
Pengetahuan warga di sini mengenai pemanfaatan dan pelestarian hutan mangrove sangat minim. Masyarakat hanya menggunakan hasil hutan bakau sebagai bahan bangunan pembuatan homestay dan kayu bakar. Beksimayor juga menjelaskan mangrove dimanfaatkan pula oleh masyarakat untuk dikonsumsi. Tetapi, belum ada pemanfaatan hutan mangrove untuk menunjang kehidupan masyarakat lebih besar.
“Biasanya mangrove kami campur pakai beras. Mangi-mangi rebus, rendam, baru dimasak tapi ini bukan dari sosialisasi. Ini dibikin di rumah saja tidak dijual. Belum coba jual belum tahu ada pasarnya atau tidak,” ujarnya.
Kurangnya pengetahuan masyarakat akan pelestarian hutan mangrove akan berdampak pula pada kondisi hutan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, masyarakat perlu mengetahui jenis-jenis mangrove yang dapat diolah sehingga bernilai ekonomis.
EcoNusa bekerja sama dengan Perkumpulan Kawan Pesisir Raja Ampat bekerja sama dengan Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (JAPESDA) Gorontalo dan Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan melaksanakan pelatihan bagi masyarakat mengenai pelestarian hutan mangrove berupa sosialisasi cara pembibitan serta pemilihan lokasi.
Sebelum ada intervensi proyek, warga belum paham pentingnya menjaga dan mempertahankan fungsi hutan mangrove. Padahal keberadaan hutan mangrove sangatlah penting karena memiliki peran ganda. Selain memiliki potensi ekologis, mangrove juga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya.