Kaimana di Papua Barat tak hanya dikenal dengan senja dan matahari tenggelamnya yang indah. Kaimana juga dijuluki sebagai kerajaan ikan atau the kingdom of fish. Hasil eksplorasi Conservation International Indonesia menunjukkan bahwa di perairan Kaimana hidup 937 spesies ikan dan 492 jenis karang. Kaimana juga diselimuti ribuan hektare hutan mangrove sehingga menjadi wilayah dengan tutupan hutan mangrove terluas di Indonesia. Bentang alam tersebut menyokong kehidupan masyarakat sekitar yang bergantung pada komoditas perikanan. Namun demikian, besarnya potensi perikanan di Kaimana Papua Barat juga seiring dengan besarnya ancaman terhadap kerajaan ikan ini.
Menjaga Keberlangsungan Kerajaan Ikan Kaimana
Dalam Expert Talk School of Diplomacy (SED) Kelas Dasar ke-6 pada 29 Mei 2021 di Tanjung Simora, Kaimana, Papua Barat, Corrich Corputty, Perwakilan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kaimana, menjelaskan bahwa ancam an-ancaman yang dihadapi ekosistem pesisir dan laut Kaimana saat ini berkisar pada aktivitas manusia dan faktor alam. Ancaman tersebut diakibatkan oleh aktivitas dan perilaku manusia karena membuang sampah sembarangan, melakukan penebangan mangrove, penangkapan ikan berlebih atau overfishing, dan pembangunan tak ramah lingkungan. Selain itu, faktor bencana alam dan pemanasan global turut memperparah kerusakan ekosistem pesisir dan laut yang mencakup estuaria, mangrove, padang lamun, terumbu karang, pasir pantai, dan pulau-pulau kecil.
“Sekarang persoalannya adalah bagaimana caranya supaya kerajaan ikan Kaimana ini terus ada? Menghadapi ancaman-ancaman itu, kaum muda di Kaimana harus memiliki 4 hal dalam dirinya terkait sumber daya alam di wilayahnya, yaitu bahwa kalian adalah pemilik, penjaga, pengelola, dan yang terakhir penerima manfaat. Sehingga harus dipahami bahwa hubungan antara manusia dengan alam itu ibarat pernikahan, yaitu ada kesetiaan dan tanggung jawab,” ujar Corrich kepada para kaum muda peserta SED Kaimana tersebut.
Baca Juga: Kaimana Perlu Diplomat Lingkungan
Expert Talk SED Kaimana sendiri merupakan sesi pembuka rangkaian pelatihan SED yang diadakan EcoNusa dari 29 Mei hingga 2 Juni 2021 sebagai wadah untuk melahirkan diplomat muda lingkungan. Pada sesi ini, para peserta mendapatkan pemaparan materi dari para narasumber yang berkompeten di bidangnya sekaligus mendiskusikan isu-isu lingkungan hidup, terutama berkaitan dengan kelestarian ekosistem laut dan potensi perikanan di Kaimana.
Eli Alue, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Kaimana – Fak-Fak, Kabupaten Kaimana, dalam acara ini menyebutkan bahwa Kaimana memiliki empat kawasan konservasi perairan, yaitu perairan Buruway, perairan Teluk Arguni, perairan Teluk Etna, dan perairan Kaimana. Untuk mengawasi ekosistem di Kawasan Konservasi tersebut, pemerintah daerah tidak bekerja sendirian, “Kami rutin melakukan patroli dengan melibatkan masyarakat, masing-masing bertanggung jawab menjaga perairannya untuk meminimalisir ancaman-ancaman yang ada terutama karena ulah manusia. Tim kami hanya mengkoordinir,” kata Eli.
Hiu Sebagai Indikator Perairan Sehat di Kaimana
Muhammad Ridwan Putra, Staf Program Perikanan Conservation International, menekankan bahwa satu indikator perairan sehat dapat dilihat dengan keberadaan hiu. “Jika hiu tidak ada, maka ada kemungkinan perairan itu tidak sehat,” kata Muhammad. Menurutnya, konservasi perairan tidak hanya sekedar melindungi saja, melainkan juga memanfaatkan dengan berkelanjutan. “Perikanan berkelanjutan artinya hari ini saya makan, besok masih makan,” imbuhnya.
Baca juga: Eksploitasi Berlebih Ancam Populasi Hiu
Eli berkisah saat ini aktivitas penangkapan ikan di Namatota, Kaimana, terjadi terus menerus. Jika dibiarkan tanpa melakukan strategi perikanan berkelanjutan, Eli khawatir stok ikan yang menipis akan berpengaruh pada keberlanjutan populasi hiu paus yang ada di sana. “Namatota itu wilayah konservasi. Tapi jumlah bagan (tempat yang dipasang di tengah laut untuk menangkap ikan) sangat banyak, padahal wilayahnya kecil. Hal ini menjadi ancaman keberlanjutan hiu paus di situ. Dalam satu bulan, bisa dua atau tiga kali kami melakukan patroli bersama Conservation International. Kami sudah komunikasikan dengan masyarakat tentang sistem zonasi. Khusus tentang zona inti, masyarakat tidak boleh melakukan penangkapan di zona ini, karena zona ini merupakan tabungan, penyeimbang,” kata Eli yang menyayangkan kenyataan bahwa masih ada masyarakat yang beraktivitas di zona inti tersebut.
Penulis: Astried & V. Arnila Wulandani
Editor: Leo Wahyudi