EcoStory

Ketika Pala Mengubah Cara Hidup di Kawaf dan Suga Lama

Bagikan Tulisan
Seorang warga mengumpulkan buah pala di kebunnya. (Yayasan EcoNusa/ Redemtus Anggur)

Di pelosok Kabupaten Teluk Bintuni, tepatnya di Kampung Kawaf dan Suga Lama, masyarakat Suku Irarutu yang sejak lama menggantungkan hidupnya pada hutan. Berburu rusa dan babi hutan menjadi kegiatan sehari-hari yang bukan hanya memenuhi kebutuhan protein keluarga, tetapi juga menjadi bagian dari identitas budaya mereka. Hutan adalah dapur, tempat persediaan makanan, sekaligus ruang hidup yang selama ini memberi “hadiah cuma-cuma”.

Namun perlahan, cara hidup ini mulai mengalami perubahan. Masyarakat Kawaf dan Suga Lama kini tidak lagi sepenuhnya bertumpu pada berburu dan meramu. Mereka mulai mengenal bercocok tanam. Meski masih sederhana dan masih kecil-kecilan, tetapi cukup memberi harapan baru. Di antara tanaman yang mereka rawat, pala menjadi yang paling menonjol. Hasilnya dipakai untuk kebutuhan sehari-hari dan sebagian lagi dijual untuk membiayai pendidikan anak-anak. Masyarakat bahkan menyebut pala sebagai “tabungan kecil” yang selalu bisa diandalkan ketika ada kebutuhan mendesak.

Baca Juga: Tradisi Berburu dan Meramu Suku Irarutu di Teluk Bintuni

Walau begitu, potensi pala di dua kampung ini sebenarnya jauh lebih besar dari yang terlihat. Saat survei dilakukan tim EcoNusa pada Agustus 2025, ditemukan bahwa banyak pohon pala tumbuh begitu saja di kebun-kebun masyarakat. Pala tumbuh liar karena bijinya tersebar oleh burung. Kebun-kebun itu lebih mirip hutan kecil: pohonnya berlumut, daun-daunnya terhalang sinar matahari, sulur-sulur liar menjalar di batang, dan dahan tidak pernah dibersihkan. Karena tidak terawat, banyak pohon yang tidak berbuah meski sudah masuk musim panen.

Pada September-Oktober 2025, tim EcoNusa kembali melakukan survei yang lebih mendalam.  Di Nawendafe, kebun milik keluarga Laban Sisrafa diperkirakan memiliki sekitar 200 pohon pala. Di Swarof, kebun keluarga Abraham Esuru memiliki sekitar 150 pohon. Jika satu pohon pala dalam kondisi baik dapat menghasilkan dua kilogram biji pala sekali panen, kebun-kebun tersebut sesungguhnya memiliki potensi penghasilan jutaan rupiah setiap musim.

Musim panen pala sendiri datang dua kali dalam setahun, sekitar April–Mei dan Oktober–November. Dalam hitung-hitungan sederhana, kebun Abraham Esuru seharusnya bisa menghasilkan sekitar 300 kilogram biji pala sekali panen. Jika dijual dengan harga pasaran Rp30 ribu per kilogram, totalnya mencapai Rp9 juta. Namun kenyataannya, hasil jualnya jauh lebih rendah. Abraham mengaku biasanya hanya memperoleh sekitar Rp7 juta setiap kali panen, termasuk dari penjualan bunga pala yang harganya bisa mencapai Rp120 ribu per kilogram. Itu berarti hanya sekitar 200 kilogram biji pala yang benar-benar terkumpul.

Baca Juga: Ironi di Kampung Kawaf: Miskin di Atas Kekayaan

Kondisi serupa juga terjadi pada petani pala lain di Kawaf. Rata-rata, keluarga petani hanya menghasilkan sekitar 60 kilogram biji pala dan 15 kilogram bunga pala dalam satu kali panen. Modal yang dikeluarkan sangat kecil, sekitar seratus ribu rupiah, hanya untuk gula dan kopi sebagai bekal memanen, karena tenaga kerja sepenuhnya berasal dari keluarga sendiri. Setelah dikurangi modal, keuntungan bersih petani sekitar Rp3,5 juta.

Mengapa potensi besar ini belum bisa dimaksimalkan? Salah satunya karena banyak warga sengaja membiarkan kebunnya tetap rimbun agar tidak menarik perhatian pencuri. “Pala itu ada yang pencuri, biar kita tidak bersih,” kata Lamek Esuru. Selain itu, gotong royong atau frrur, yang biasanya dilakukan ketika masyarakat menokok sagu, belum benar-benar diterapkan untuk membersihkan kebun pala. Padahal, tanpa kerja bersama, sulit bagi keluarga untuk merawat ratusan pohon pala yang tumbuh tidak teratur.

Meski penuh tantangan, harapan tetap terbuka lebar. Pemerintah Teluk Bintuni kini mulai mengembangkan program budi daya pala dan menyiapkan lahan untuk itu. Masyarakat Kawaf dan Suga Lama pun menyambut hal tersebut. Mereka bahkan meminta agar dibentuk koperasi agar bisa bekerja sama dengan EcoNusa dan bermitra dengan perusahaan seperti PT Kobumi untuk memastikan hasil pala mereka terserap dengan harga yang lebih adil.

Baca Juga: Kekayaan Alam dan Tantangan Pembangunan di Papua dan Maluku

Di lapangan, potensi pala masih seperti harta terpendam. Produksinya mungkin baru berkisar 300–500 kilogram, tetapi melihat jumlah pohonnya yang sangat banyak bisa menjadi potensi yang cukup menjanjikan jika dilakukan perawatan rutin. Dua kebun yang dijadikan contoh saja sudah menunjukkan betapa besarnya peluang jika pola pengelolaan diperbaiki. Belum lagi sebaran pohon pala yang luas hingga ke Distrik Kaitaro dan Distrik Kuri, yang dalam jangka panjang bisa mendukung peningkatan produksi.

Pelatihan budi daya pala, mulai dari pembibitan, perawatan tanaman, hingga pengendalian hama dan penyakit termasuk serangan babi hutan, dapat menjadi langkah penting untuk memperkuat produktivitas petani di Kawaf dan Suga Lama. Upaya ini perlu berjalan berdampingan dengan pendirian koperasi yang mampu menjaga stabilitas harga dan memperkuat posisi tawar masyarakat. Tidak kalah penting, pembentukan kelompok mama-mama untuk mengolah pala menjadi berbagai produk turunan, mulai dari minyak hingga olahan kuliner, bisa membuka peluang ekonomi baru yang lebih berkelanjutan bagi keluarga. Dengan langkah-langkah ini, pala bukan hanya menjadi hasil hutan yang dikumpulkan, tetapi menjadi sumber penghidupan yang benar-benar memberi masa depan bagi masyarakat.

Editor: Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved