Pala telah lama menjadi salah satu komoditas rempah primadona Indonesia, khususnya di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku. Kedua wilayah ini bahkan dijuluki sebagai sentra pala terbesar di nusantara. Aroma dan citarasa pala yang khas tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi mancanegara, bahkan sejak zaman dulu kala.
“Saya sudah menanam pala dari saya sekolah SMP, di kebun milik orang tua yang sudah ada sejak zaman VOC,” ucap Khairun Abujali, salah satu petani pala di Banda saat diwawancarai melalui telepon (15/9). Khairun mengatakan bahwa hampir seluruh masyarakat di Kepulauan Banda adalah petani pala, dan ini berlaku turun temurun sejak dulu hingga sekarang.
Baca juga: Vanili, Harapan Masyarakat untuk Meningkatkan Pendapatan
Pala merupakan salah satu tanaman yang banyak dibudidaya di hutan rakyat dengan metode agroforestri dan menjadi bagian dari skema perhutanan sosial. Perhutanan sosial sendiri adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilakukan dalam kawasan hutan negara ataupun hutan adat oleh masyarakat lokal maupun masyarakat hukum adat. Ini merupakan jalan tengah guna meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan ekosistem, dan menjaga tatanan sosial yang ada. Dengan kata lain, selain memberikan manfaat berupa sumber penghasilan bagi para petani pala, adanya hutan pala juga turut berperan menjaga keseimbangan ekosistem wilayah tersebut, sekaligus mempertahankan dinamika sosial budaya yang telah ada di Kepulauan Maluku sejak dulu kala.
“Dari panen pala, uangnya digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari, untuk uang sekolah anak, renovasi rumah juga,” cerita Khairun. Dalam satu tahun terdapat dua kali panen raya, atau panen pala besar-besaran. Ketika panen raya, masyarakat bisa meraup pendapatan hingga 25 juta rupiah, tergantung seberapa luas kebun pala yang petani miliki. Pendapatan dari pala juga tak jarang membuat mereka bisa mewujudkan cita-citanya menunaikan ibadah haji.
Dari satu buah pala, semua bagian mulai dari buah, fuli (bunga pala), dan bijinya bisa dimanfaatkan oleh petani sebagai komoditas. Namun mayoritas petani pala di Kepulauan Maluku memanfaatkan fuli dan biji pala untuk dijual. Saprudin Mahu atau akrab disapa Yudi, salah satu petani pala dari Kampung Jasira, Seith, Maluku Tengah memaparkan bahwa satu kilogram biji pala diberi harga sekitar Rp 92.000 – Rp 95.000 sesuai dengan kualitasnya. Sedang untuk satu kilogram fuli dipatok dengan harga Rp 215.000 per kilogram. Sebagai petani, harga biasanya dipatok oleh pengepul tempat mereka menyalurkan hasil alamnya.
Baca juga: Antara Ritual Pemanggil Udang dan Koperasi Fgan Fen Sisi
“Adanya EcoNusa dan KOBUMI datang ke wilayah ini sangat bermanfaat. KOBUMI membeli pala mengikuti harga dan kondisi lapangan, jadi kami bisa dapat harga yang adil,” ucap Yudi. Dia juga menjelaskan sebelum KOBUMI hadir, pengepul seringkali memberikan harganya sendiri. Kondisi petani yang tidak punya pilihan untuk menyalurkan pala hasil panennya membuat mereka kerap mendapatkan harga yang kurang menguntungkan.
“Agar potensi komoditas lokal memiliki daya saing global dan berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat adat dan lokal, peran EcoNusa dalam mendukung peningkatan kualitas komoditas yang dipasarkan oleh KOBUMI adalah dengan melakukan pendampingan kepada petani pala di Kepulauan Maluku, khususnya di Kepulauan Banda dan Tehoru sejak tahun 2021. Salah satunya dengan menghadirkan rumah pengering pala untuk petani di beberapa wilayah di Banda dan Seram Bagian Timur. Harapannya hasil pengolahan dan perlakuan pasca panen biji pala sesuai standar permintaan pasar Asia dan Eropa sehingga meningkatkan nilai jual komoditasnya,” ucap Lanny Losung, Managing Director KOBUMI.
Baca juga: Catatan Perjalanan: Menyaksikan Molo, Kearifan Lokal Menangkap Hasil Laut di Papua
Selain mendorong produksi yang terjamin kualitasnya melalui pelatihan dan dukungan sarana rumah pengering, membuka peluang pasar bagi komoditas lokal unggulan juga penting guna mendukung berjalannya roda perekonomian secara utuh. Oleh karenanya, Yayasan EcoNusa bersama dengan KOBUMI juga berupaya membuka berbagai peluang dengan memperkenalkan beberapa komoditas lokal unggulan dari Indonesia timur, salah satunya pala dari Kepulauan Maluku. Hal ini bertujuan agar petani lokal dengan hasil alamnya dapat menjangkau pasar lokal hingga internasional, meningkatkan perekonomian, dan masyarakat dunia pun bisa mengetahui produk-produk unggulan dari Indonesia, khususnya yang berasal dari Tanah Papua dan Kepulauan Maluku.
Selain itu, pendirian Koperasi masyarakat juga didorong untuk menguatkan kemandirian ekonomi berbasis masyarakat di wilayah Kepulauan Maluku. Dua Koperasi yang didampingi pendiriannya antara lain Koperasi Banda Neira Mandiri dan Koperasi Saoli Rempah Binaya. Kedua Koperasi ini diharapkan dapat menjadi badan usaha milik masyarakat lokal, yang dapat menampung dan menyalurkan berbagai komoditas unggulan wilayah Kepulauan Maluku, salah satunya pala.
Baca juga: Koperasi Lingkar Jerat Papua Siap Produksi Sosis Babi Hutan Berkualitas
“Didirikannya Koperasi ini bertujuan untuk memajukan UMKM dan meningkatkan perekonomian petani pala di Kepulauan Banda,” jelas Dirman Sampulawa, Ketua Koperasi Banda Neira Mandiri. Dirman juga menjelaskan bahwa kedepannya Koperasi Banda Neira Mandiri akan memberikan edukasi dan sosialisasi rutin terkait dengan pasca panen pala sehingga Kepulauan Banda dapat menjadi wilayah penghasil pala berkualitas tinggi.
Hasil panen pala dari petani di Kepulauan Maluku dengan grade AB dan SS yang dihasilkan selama pendampingan dinilai memenuhi standar pasar mancanegara. Pala dengan kualitas AB (mutu 1) artinya biji pala bulat sempurna, tidak berkeriput, pecah maupun berjamur. Sedang pala kualitas SS (mutu 2) yakni biji pala yang tidak bulat sempurna, namun kondisi pala tidak pecah, bolong-bolong maupun berjamur.
Bersama koperasi dan kerjasama dengan KOBUMI, EcoNusa turut mengenalkan hasil pala agroforestri dari petani ke pasar Asia. Sebanyak 17 ton pala yang berasal dari berbagai penjuru Maluku seperti Kepulauan Banda, Tehoru di Seram bagian Barat, Bula di Seram bagian Timur, Pulau Namlea, Pulau Buru, Pulau Saparua, dan Pulau Lehitu dikirim ke Surabaya untuk kemudian didistribusikan ke pasar Cina pada 11 September 2023 lalu.
Baca juga: Kisah Petani Kakao di Papua, Dulu Berjaya, Kini Berjuang
“Ini adalah komitmen nyata kolaborasi EcoNusa bersama KOBUMI sebagai social eco enterprise untuk penguatan ekonomi lokal. Model bisnis yang diusung oleh KOBUMI diharapkan dapat membawa peningkatan ekonomi masyarakat adat dan lokal melalui koperasi. Model bisnis ini memfokuskan pada pengembangan nilai tambah dan kualitas komoditas, optimalisasi rantai pasok, serta akses pasar yang lebih luas. Dengan melibatkan koperasi diharapkan masyarakat adat dan lokal dapat memiliki peran yang lebih besar dalam manajemen produksi, distribusi sehingga dapat meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan koperasi secara berkelanjutan,” pungkas Lanny.
Editor: Swinny Adestika