Komisi Pemberantasan Korupsi bersama Pemerintah Provinsi Papua Barat menggelar rapat koordinasi evaluasi Izin Usaha Perkebunan (IUP) kelapa sawit. Evaluasi tersebut merupakan tindak lanjut dari kegiatan koordinasi dan supervisi sektor perkebunan kelapa sawit di Papua Barat yang sudah dilakukan sejak Februari 2021.
“Pada rapat koordinasi hari ini, kita fokus pada hasil evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit yang masuk dalam kategori tiga, yaitu kepada perusahaan-perusahaan yang sudah mendapatkan hak guna usaha (HGU) dan sudah melakukan penananam kelapa sawit, tetapi belum memenuhi ketentuan atau kewajiban yang diatur oleh pemerintah dan merugikan negara,” kata Sekretaris Daerah Provinsi Papua Barat, Nataniel Mandacan, membacakan sambutan Gubernur Papua Barat, Selasa, 12 Juli 2022.
Mandacan menyampaikan beberapa poin penting terkait rapat koordinasi hari itu. Pemerintah, kata dia, mengalami kerugian dari aspek penerimaan karena baru sedikit saja lahan konsesi yang telah memiliki IUP yang dibayar pajaknya. Pelaksanaan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit bertujuan untuk memperbaiki tata kelola perizinan, di antaranya melalui penyamaan data di berbagai level pemerintahan dengan pembuatan database perkebunan kepala sawit, dan optimalisasi fungsi pengawasan dan pembinaan oleh pemerintah.
“Diharapkan fungsi pengawasan dan pembinaan oleh pemerintah dapat berjalan lebih efektif, sehingga perusahaan perkebunan kelapa sawit menjadi lebih tertib dan taat terhadap peraturan,” ujarnya.
Baca Juga: GTRA Summit 2022, Presiden Tekankan Sinergi untuk Selesaikan Persoalan Lahan
Pelaksanaan perizinan perkebunan kelapa sawit ini, kata Mandacan, sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat. Presiden Joko Widodo melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 6 Januari 2022 mencabut sekitar 3,1 juta hektare izin pelepasan Kawasan hutan di mana hampir setengahnya berada di Tanah Papua. Dari 24 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada di Provinsi Papua Barat, 17 di antaranya turut dicabut. Pemerintah pusat melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi telah meminta kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan untuk mengaudit tata kelola industri kelapa sawit dan turunannya.
Menurut Mandacan, sejalan dengan semangat otonomi khusus dan peraturan turunannya, pembangunan di Papua Barat harus bisa memberikan manfaat untuk masyarakat adat. Prioritas pengelolaan lahan bekas konsesi yang telah dicabut, dapat dikelola oleh masyarakat adat secara berkelanjutan sesuai dengan potensi wilayahnya dan dengan dukungan penuh dari pemerintah.
Pada rapat koordinasi 21 Februari 2021, Pemerintah Provinsi Papua Barat telah menyampaikan hasil evaluasi perizinan usaha perkebunan kelapa sawit kepada para bupati dan instansi terkait untuk ditindaklanjuti. Dari hasil evaluasi tersebut, Pemerintah Provinsi dan beberapa pemerintah kabupaten kemudian mencabut izin konsesi dan merevisi izin 16 perusahaan dengan luasan 351.342,93 hektare.
Baca Juga: Jaga Tanah Dapat Uang di Kampung Yoboi
“Kami merekomendasikan agar perusahaan tersebut dicabut izinnya karena secara eksplisit menyatakan tidak akan melanjutkan proses perolehan izin. Di samping itu, ada juga IUP yang sama sekali belum melakukan pembukaan lahan dan penanaman sawit,” kata Yakob S Fonataba, Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Papua Barat.
Terhadap pencabutan IUP tersebut, sebanyak 5 perusahaan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. “Kita menghargai proses hukum yang berlaku. Namun disisi lain, kita wajib menegakkan aturan termasuk kepatuhan pelaku usaha. Apalagi jika IUP tersebut tidak memenuhi kewajibannya kepada negara, dan bahkan mengancam kelestarian hutan Papua, wajib kita tertibkan” ujar Dian Patria, Kepala Satuan Tugas Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK.
Terkait kepatuhan pajak, Kepala Kanwil Pajak Wilayah Maluku dan Papua, Hery Kuswanto, berjanji akan melakukan penagihan secara aktif kepada perusahaan. “Kantor Pajak akan berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan penagihan pajak. Untuk itu perlu ada sinergi dan dukungan lintas instansi baik pusat maupun daerah. Kami akan melakukan rekonsiliasi data pajak dengan Dinas terkait” kata Hery.
Selain ketidakpatuhan pembayaran pajak, peserta rapat juga menyoroti kontribusi sektor sawit dalam membangun wilayah Papua Barat karena industri pengolahan minyak goreng belum ada di Papua Barat. “Kami berharap ada upaya untuk mengakselerasi pembangunan pabrik pengolahan minyak goreng di Manokwari. Sebab kelangkaan minyak goreng justru terjadi di Manokwari yang merupakan produsen kelapa sawit,” tutur Hermus Indou, Bupati Manokwari.
Baca Juga: Hutan Sagu yang Terancam oleh Sawit
Cindy Simangunsong, Manager Kebijakan dan Advokasi Yayasan Econusa yang selama ini mengadvokasi perbaikan tata kelola sawit di Papua Barat, melihat ini sebagai salah satu pilihan strategis yang bisa diambil Pemda. “Membangun industri minyak goreng, merupakan salah satu pilihan untuk mendongkrak kontribusi sektor ini bagi masyarakat. Apalagi jika melihat semangat UU Otsus, sektor sumber daya alam harus memberikan kontribusi langsung bagi masyarakat khususnya orang asli Papua,” kata Cindy.
Rapat koordinasi tersebut menyimpulkan bahwa sinergi lintas pihak, merupakan kunci dari upaya penataan IUP kelapa sawit di Papua Barat. KPK juga akan terus mengawal proses penataan tersebut. “Keberadaan KPK untuk memastikan setiap pihak berada dalam tujuan yang sama selama proses penertiban ini. Karena sedari awal, penataan IUP kelapa sawit di Papua Barat dimaksudkan untuk perbaikan tata kelola dalam rangka mencegah korupsi, mencegah kerugian keuangan negara, serta menjaga kawasan hutan karena Papua Barat mendeklarasikan diri sebagai provinsi konservasi. Dan ini, butuh dukungan aktif semua pihak,” ujar Dian Patria.