Kampung Mandoni, Distrik Kokas, di Kabupaten Fakfak, Papua Barat, diberi anugerah alam luar biasa. Salah satunya adalah ekosistem mangrove, atau mangi-mangi dalam bahasa lokalnya. Keberadaan mangi-mangi ini memberikan sumber penghidupan bagi seluruh penduduk kampung. Mereka bisa mendapatkan ikan, kepiting, rajungan, kerang dara yang berlimpah di daerah perairan tersebut.
Selain menangkap kepiting bakau, ikan atau kerang dara, penduduk Kampung Mandoni juga hidup dari buah pala. Memang pala ini menjadi sumber penghidupan bagi penduduk. “Tapi, selesai panen pala, kemudian terus mereka berusaha cari kepiting lagi,” kata Abdul Kramandondo, Kepala Kampung Mandoni saat ditemui Tim Ekspedisi Mangrove EcoNusa pada Desember 2019.
Harus diakui, pertambahan populasi semakin menambah sumber mata pencaharian hidup. Termasuk di Kampung Mandoni. Sekarang makin banyak orang yang menangkap kepiting bakau. “Iya ada banyak yang tangkap kepiting. Makanya kita cari tempat yang kosong, baru kita masuki,” kata Mama Mariam Kramandondo, salah satu penduduk yang mencari penghidupan dari kepiting bakau. Terbatasnya daerah tangkapan, membuat ia harus pintar-pintar mencari tempat yang punya banyak tangkapan.
Menurut Abdul, menangkap kepiting tidak mengenal musim. Kepiting makin dicari karena pembeli juga makin banyak. “Kalau ada pembeli minta tolong berarti mereka usaha keluar mencari kepiting,” katanya.
Untunglah kepiting bakau di Kampung Mandoni menurut Abdul masih banyak. “Kalau kepiting itu berkurang, berarti kita ini semua sepakati untuk adakan sasi, demi kehidupan masyarakat banyak,” kata Abdul.
Sasi yang disepakati adat ini biasanya berlangsung selama tiga bulan. Setelah berakhirnya sasi selama tiga bulan, maka orang bebas mencari kepiting lagi. “Tiga bulan kemudian mereka berarti tidak ragu lagi mencari kepiting. Tinggal pilih saja. Sudah ada kehidupan toh ke depan,” kata Kepala Kampung Mandoni tersebut.
Abdul pun mengatakan bahwa sasi adalah kesepakatan beberapa marga yang ada. Di Kampung Mandoni ada beberapa marga, termasuk Marga Kramandondo, Bahba, Tiguria, Horobat yang punya kekuasaan. Di kampung seberang Mandoni ada Marga Herietrenggi, Kabis, Kudalagi.
“Kalau sasi, kami atas nama masyarakat Mandoni maupun tetangga dari Kampung Batufiafas, Patimburak bersatu untuk mengadakan sasi. Jangka waktunya tiga bulan. Begitu selesai tiga bulan berarti kita semua kumpul. Baru kita adakan upacara adat baru, kita lepaskan sasi itu, baru mereka keluar lagi mencari kepiting,” Abdul menjelaskan.
Sebagai kesepakatan bersama warga dari beberapa marga, sasi tidak boleh dilanggar. Kalau ada yang melanggar, maka akan dikenai denda sesuai yang disepakati oleh semua marga. “Kalau menurut sasi ini, sekitar 33 juta (rupiah) harus dia tanggulangi,” kata Abdul. Denda ini juga berlaku untuk semua orang yang pergi mencari kepiting, meskipun orang dari luar marga.
Sasi juga berlaku untuk panenan buah pala. Sasi diterapkan sesuai dengan kesepakatan beberapa marga yang mempunyai hasil pala. Ini sama dengan sasi untuk kepiting. “Kita semua sepakati adanya sasi. Kemudian enam bulan baru kita duduk lagi. Upacara lagi. Kita bicara masalah sasi baru kita orang buka lagi untuk pergi panen sendiri toh,” kata Abdul.
Sasi merupakan kesepakatan adat turun temurun. “Apabila sudah (kita) sepakati dengan ketentuan itu, berarti semua harus jaga,” kata Abdul
Penulis: Leo Wahyudi dan Wiendy Widasari
Editor: Lutfy Mairizal Putra